Pentas Sidamoktaning Bubat, Rekonstruksi Pasunda Bubat di Nyiar Lumar 2022
- Willy Fahmy Agiska
dipapag ku katumbiri
Jelas bukan cahaya Lumar yang menuntun saya kembali malam itu, cahaya bioluminesensnya kalah oleh remang cahaya obor di kiri kanan jalan. Akan tetapi bayang-bayang putri yang pergi diiring angin semerbak | disambut oleh pelangi tetap menemani saat saya beberapa kali berhenti di depan tiap-tiap bekas tempat pentas yang sudah sepi. Ketika kaki saya sudah tak lagi menginjak jerami dan cahaya tahun 2022 yang kian pudar menyambut, spontan saya mengucapkan penutup puisi Sayudi perlahan: urang tutup galur catur | padakeun tepi ka dinya | Bral.
Seorang gadis yang dari tadi berjalan di belakang saya menyalip langkah sambil melayangkan tatap heran. Wajah setengah siluetnya seperti sisa memori yang meronta ingin ikut merayakan pagi. Mungkin dia mengira saya mabuk dan membayangkan diri juru pantun keraton agung Surawisésa.
Mengikuti langkahnya melintasi pelataran, saya baru sadar bahwa saya lelah dan mengantuk. Akan tetapi saya yakin dalam tidur setelah itu saya pasti memimpikan fragmen-fragmen kisah dari masa yang jauh dalam lanskap yang hanya diterangi lumar-lumar kecil di atas lumut bebatuan tak jauh dari perabuan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi di Astana Gede Kawali.