Krisis Mahasiswa dan Menara Gading Kampus

Fahmi G Priono, Pegiat Politik dan Demokrasi.
Sumber :
  • MindsetVIVA

Ilustrasi mahasiswa dengan gadgetnya.

Photo :
  • Freepik.com
Socrates dan Kebebasan Berbicara: Tinjauan atas Pengadilan dan Kehendak Rakyat Atensi

Pada zaman sekarang, kita dapat melihat contoh yang jelas dari disorientasi dan penurunan nilai-nilai pemuda tersebut. Salah satunya terlihat ketika mahasiswa membentuk partai politik dan tindakan pertama yang mereka lakukan adalah mengunjungi istana dan berusaha menjadi bagian dari kekuasaan yang ada di sana.

Hal ini jelas bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh kaum intelektual muda pada tahun 1928. Pada saat itu, ketika para intelektual muda dan orang terpelajar membentuk organisasi atau partai politik.

Socrates dan Lingkaran Skandal Keagamaan, Peran Intelektual dalam Krisis Demokrasi Athena

Langkah pertama yang mereka ambil adalah membedakan diri mereka dari kekuasaan yang ada. Mereka menarik garis batas dengan tegas terhadap penguasaan dan mengadopsi sikap kritis terhadap kekuasaan demi kepentingan rakyat.

Di tengah lingkungan kampus, ada mahasiswa dan organisasi mahasiswa yang bangga menjadi penghubung antara pihak kampus dan mahasiswa lainnya. Mereka cenderung menerima kebijakan kampus tanpa banyak perlawanan, bahkan jika kebijakan tersebut tidak menguntungkan bagi mahasiswa.

Persidangan Socrates Tahun 399 SM, Pertarungan Ideologi antara Athena dan Sparta

Mahasiswa yang digambarkan sebagai 'young hero', pada saat negara sedang dalam masa-masa sulit justru sangat eksklusif, tidak memiliki sikap ideologis, sangat kompromis, pragmatis dan oportunis. 

Sebagian besar mahasiswa sekarang telah melupakan tugas dan tujuan mereka sebagai mahasiswa. Mereka cenderung menjadi pemuda yang egois, manja, tanpa rasa krisis (sense of crisis) dan tanpa rasa memiliki (sense of belonging) terhadap berbagai persoalan dan kondisi sosial.

Berteriak lantang dalam berbagai demonstrasi mengatasnamakan rakyat tetapi dalam proses perjuangannya sama sekali tidak terintegrasi secara langsung bersama-sama di tengah rakyat, tidak mengerti psikologis rakyat, bahkan mencium aroma keringat rakyatnya pun tidak. 

Mereka menunjukkan sikap antipati terhadap rakyat miskin, dengan merasa lebih terdidik dan memiliki status yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan. Mereka cenderung merasa eksklusif, memandang rendah dan tidak berempati terhadap mereka.

Selain itu, mereka hanya memanfaatkan kemiskinan yang dialami oleh rakyat sebagai alat untuk memenuhi tuntutan kepentingan pribadi, kelompok, atau bahkan individu mereka sendiri. Mereka tidak benar-benar berkomitmen untuk mengatasi masalah kemiskinan, melainkan hanya menggunakan situasi tersebut sebagai alat manipulasi.

Halaman Selanjutnya
img_title