Sipon, Istri Penyair Aktivis Wiji Thukul, Meninggal, Begini Potret Kemesraan Mereka dalam Puisi
- viva.co.id
Mindset –Sipon atau Siti Dyah Sujirah meninggal dunia pada hari Kamis (5/1/23). Sipon adalah istri Wiji Widodo yang kemudian lebih terkenal sebagai penyair sekaligus aktivis Wiji Thukul.
Wiji Thukul sendiri lahir di Solo pada 26 Agustus 1963. Wiji Thukul adalah salah satu aktivis yang menghilang dalam tragedi 1998 dan sampai sekarang masih belum diketahui keberadaannya.
Sipon atau Siti Dyah Sujirah menikah dengan Wiji Thukul pada bulan Oktober 1989. Mereka memiliki dua anak, yang pertama Fitri Nganthi Wani dan yang kedua Fajar Merah. Sampai akhir hayatnya, Sipon terus lantang menuntut pencarian suaminya dan penyelesaian kasus-kasus HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu.
Lalu bagaimana potret kemesraan Wiji Thukul dan Sipon? Kita bisa membaca kembali puisi-puisi yang pernah Wiji Thukul tulis terkait istrinya. Salah satu puisi tersebut berjudul “baju loak sobek pundaknya”:
siang tadi aku beli baju
harganya murah
harganya murah bojoku
di pedagang loak
di pedagang loak bojoku
pundaknya sedikit sobek
sedikit sobek bojoku
bisa dijahit tapi
nanti akan kubeli benang
akan kubeli jarum
untuk menjahit bajumu bojoku
untukmu bojoku
baju itu untukmu
tadi siang kucuci baju itu
kucuci bojoku
tapi aku bimbang
aku bimbang bojoku
kutitip ke kawan
atau kubawa sendiri
nanti kalau aku pulang
kalau aku pulang bojoku
karena sekarang aku buron
diburu penguasa
karena aku berorganisasi
karena aku berorganisasi bojoku
baju itu kulipat bojoku
di bawah bantal
tak ada setrika bojoku
tak ada setrika
agar tak lusuh
agar tak lusuh
karena baju ini untukmu bojoku
Puisi tersebut Wiji Thukul tulis pada 22 Januari 1996. Meski ditulis dengan sangat sederhana, tetapi kita bisa merasakan kemesraan seorang suami terhadap istrinya.
Puisi mengisahkan seorang suami yang ingin memberikan baju untuk istrinya. Nilai puitis sejak awal sudah terasa melalui pilihan kata yang digunakan. Wiji Thukul menggunakan diksi “bojo” dan bukan istri. Diksi “bojo” dan “baju” memiliki efek konsonansi, pengulangan konsonan.
Kemesraan yang sederhana tergambar dari kisah bahwa baju itu sendiri dibeli dengan harga murah. Selain itu, dibelinya juga di tukang loak. Bahkan pundak baju itu sendiri sobek.
Kemudian kita menemukan atmosfer yang kian sedih ketika tahu bahwa bahkan hanya untuk memberikan baju itu langsung, sang suami tidak bisa. Alasannya karena sang suami sedang menjadi buronan penguasa.
Pada akhirnya, sang suami hanya mencuci baju itu dan melipatnya di bawah bantal supaya tidak lusuh. Pemberian baju yang tampak remeh itu menjadi bernilai tinggi karena kisah di baliknya.