Sipon, Istri Penyair Aktivis Wiji Thukul, Meninggal, Begini Potret Kemesraan Mereka dalam Puisi

Sipon, Istri Wiji Thukul
Sumber :
  • viva.co.id

MindsetSipon atau Siti Dyah Sujirah meninggal dunia pada hari Kamis (5/1/23). Sipon adalah istri Wiji Widodo yang kemudian lebih terkenal sebagai penyair sekaligus aktivis Wiji Thukul

Nabi Adam Penyair Pertama di Bumi? Ini Penjelasan Para Ulama

Wiji Thukul sendiri lahir di Solo pada 26 Agustus 1963. Wiji Thukul adalah salah satu aktivis yang menghilang dalam tragedi 1998 dan sampai sekarang masih belum diketahui keberadaannya. 

Sipon atau Siti Dyah Sujirah menikah dengan Wiji Thukul pada bulan Oktober 1989. Mereka memiliki dua anak, yang pertama Fitri Nganthi Wani dan yang kedua Fajar Merah. Sampai akhir hayatnya, Sipon terus lantang menuntut pencarian suaminya dan penyelesaian kasus-kasus HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu. 

5 Hal tentang Jalaluddin al-Suyuthi, Ulama yang Dikutip dalam Sidang MK Pilpres 2024

Lalu bagaimana potret kemesraan Wiji Thukul dan Sipon? Kita bisa membaca kembali puisi-puisi yang pernah Wiji Thukul tulis terkait istrinya. Salah satu puisi tersebut berjudul “baju loak sobek pundaknya”:

 

Pemuda PUI Garut Periode 2024-2027 Dilantik, Agus Nurjaman Kembali Pimpin Kedua Kalinya

siang tadi aku beli baju

harganya murah

harganya murah bojoku

di pedagang loak

di pedagang loak bojoku

pundaknya sedikit sobek

sedikit sobek bojoku

bisa dijahit tapi

nanti akan kubeli benang

akan kubeli jarum

untuk menjahit bajumu bojoku

 

untukmu bojoku

baju itu untukmu

 

tadi siang kucuci baju itu

kucuci bojoku

 

tapi aku bimbang

aku bimbang bojoku

kutitip ke kawan

atau kubawa sendiri

nanti kalau aku pulang

kalau aku pulang bojoku

 

karena sekarang aku buron

diburu penguasa

karena aku berorganisasi

karena aku berorganisasi bojoku

 

baju itu kulipat bojoku

di bawah bantal

tak ada setrika bojoku

tak ada setrika

agar tak lusuh

agar tak lusuh

karena baju ini untukmu bojoku

 

Puisi tersebut Wiji Thukul tulis pada 22 Januari 1996. Meski ditulis dengan sangat sederhana, tetapi kita bisa merasakan kemesraan seorang suami terhadap istrinya. 

Puisi mengisahkan seorang suami yang ingin memberikan baju untuk istrinya. Nilai puitis sejak awal sudah terasa melalui pilihan kata yang digunakan. Wiji Thukul menggunakan diksi “bojo” dan bukan istri. Diksi “bojo” dan “baju” memiliki efek konsonansi, pengulangan konsonan. 

Kemesraan yang sederhana tergambar dari kisah bahwa baju itu sendiri dibeli dengan harga murah. Selain itu, dibelinya juga di tukang loak. Bahkan pundak baju itu sendiri sobek. 

Kemudian kita menemukan atmosfer yang kian sedih ketika tahu bahwa bahkan hanya untuk memberikan baju itu langsung, sang suami tidak bisa. Alasannya karena sang suami sedang menjadi buronan penguasa. 

Pada akhirnya, sang suami hanya mencuci baju itu dan melipatnya di bawah bantal supaya tidak lusuh. Pemberian baju yang tampak remeh itu menjadi bernilai tinggi karena kisah di baliknya.