Mobil Sejuta Umat vs Mobil Listrik: Siapa yang Lebih Tahan Nilai?
- Ist
Mindset – Mobil sejuta umat vs mobil listrik manakah yang lebih tahan nilai? Yuk simak ulasannya agar punya pertimbangan sebelum berli mobil impianmu!
Membeli mobil adalah keputusan besar yang melibatkan banyak pertimbangan, mulai dari harga, kenyamanan, hingga efisiensi bahan bakar.
Namun, ada satu faktor penting yang sering terlupakan oleh calon pembeli, yaitu depresiasi nilai mobil atau seberapa besar penurunan harga mobil dari waktu ke waktu.
Artikel ini akan membandingkan depresiasi nilai antara mobil sejuta umat seperti Toyota Avanza dan Honda Brio, dengan mobil listrik seperti Hyundai Ioniq dan Wuling Air EV, untuk membantu Anda membuat keputusan yang tepat.
Depresiasi Mobil: Faktor Penentu yang Sering Diabaikan
Melansir channel Youtube Leon Hartono menerangkan, depresiasi merupakan pengurangan nilai mobil dari harga belinya.
Dalam 9–10 tahun, beberapa mobil dapat kehilangan hingga 70–80% nilainya, sementara yang lain tetap stabil di 60–70%. Sebagai contoh:
- Toyota Calya (2016): Harga baru Rp150 juta. Pada 2024, harga bekasnya masih sekitar Rp108 juta (72% dari nilai awal).
- Hyundai Ioniq 5 (2022): Harga baru Rp800 juta. Pada 2024, resale value-nya hanya Rp560 juta (70% dari nilai awal).
Kesimpulannya, mobil sejuta umat cenderung memiliki depresiasi lebih kecil dibandingkan mobil listrik dalam jangka panjang.
Performa Depresiasi Mobil Sejuta Umat
Mobil sejuta umat seperti Toyota Avanza, Honda Brio, dan Mitsubishi Xpander terkenal dengan nilai jual kembali yang tinggi.
Data menunjukkan bahwa mobil-mobil ini memiliki depresiasi tahunan yang relatif rendah:
- Toyota Avanza (2015): Dari Rp200 juta, resale value-nya masih Rp128 juta pada 2024 (64% dari nilai awal).
- Mitsubishi Xpander (2017): Dari Rp245 juta, resale value-nya sekitar Rp200 juta (82% dari nilai awal).
Faktor utama di balik performa ini adalah popularitas, daya tahan, dan biaya perawatan yang rendah, sehingga permintaan tetap tinggi di pasar mobil bekas.
Depresiasi Mobil Listrik: Tantangan Teknologi Baru
Mobil listrik menghadapi tantangan besar dalam menjaga nilai jual kembali. Contoh nyata adalah Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air EV yang kehilangan sekitar 20–30% dari nilai awalnya hanya dalam 1–2 tahun.
Penyebab utama depresiasi tinggi mobil listrik:
- Inovasi Cepat: Teknologi mobil listrik berkembang pesat, membuat model lama cepat usang.
- Subsidi Pemerintah: Diskon pajak untuk pembeli baru membuat harga mobil baru lebih kompetitif, menekan harga mobil bekas.
- Biaya Baterai: Ketidakpastian tentang harga penggantian baterai di masa depan membuat pembeli mobil bekas ragu.
- Mobil Luxury: Pilihan untuk Penggemar, Bukan Investor
Mobil mewah seperti BMW dan Mercedes-Benz dikenal memiliki depresiasi tertinggi, terutama pada model sedan. Contohnya:
- Mercedes-Benz S-Class (2015): Dari Rp2,3 miliar, resale value-nya hanya Rp720 juta pada 2024 (31%).
- BMW 3 Series (2015): Dari Rp740 juta, resale value-nya Rp323 juta (44%).
Mobil-mobil ini cocok untuk mereka yang memiliki anggaran besar dan tidak terlalu peduli dengan nilai jual kembali.
Pilih Mobil Sesuai Kebutuhan
Jika Anda mencari mobil dengan depresiasi rendah dan nilai jual kembali tinggi, mobil sejuta umat adalah pilihan terbaik.
Toyota Calya, Avanza, atau Mitsubishi Xpander menawarkan keandalan dan nilai investasi yang solid. Namun, jika Anda menginginkan teknologi terbaru dan peduli dengan lingkungan, bersiaplah menghadapi depresiasi tinggi dari mobil listrik.
pertimbangkan depresiasi, Anda bisa membuat keputusan pembelian mobil yang lebih cerdas dan hemat di masa depan. *AT