Di Nyiar Lumar 2022, Sajak Sunda Penyair Willy Menciptakan Atmosfer Sendiri
- Istimewa
Mindset –Setelah tidak diselenggarakan pada tahun 2020 karena pandemi, pagelaran budaya dua tahunan Nyiar Lumar di Astana Gede Kawali kembali diselenggarakan. Pagelaran diselenggarakan pada hari Sabtu 24 Desember sampai dini hari 25 Desember 2022. Seperti biasa, pagelaran dimulai dengan helaran pada siang hari Sabtu di halaman kantor Kecamatan Kawali dan diakhiri pada dini hari Minggu dengan Ronggeng Gunung Bi Raspi.
Salah satu pagelaran yang dipentaskan dalam Sesi 4 Magelaran Nyiar Lumar 2022 adalah pembacaan sajak. Salah seorang penyair yang membaca sajak adalah penyair asal Kawali, Willy Fahmy Agiska. Willy membacakan dua sajak Sunda berjudul “Walungan” (Sungai) dan “Beurang-Beurang Basa Aing Hudang di Kosan” (Siang Hari Saat Aku Bangun di Kos-kosan).
Willy Fahmy Agiska bukan nama baru dalam gelanggang sastra Indonesia. Di usia yang masih muda, rekam jejaknya sudah panjang. Dalam rentang tahun 2014-2019, dia menerima 5 penghargaan baik dalam lomba baca puisi ataupun untuk buku puisi bahasa Indonesianya berjudul Mencatat Demam.
Selain menulis dan membaca sajak, Willy juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sastra dan teater. Tercatat misalnya pada tahun 2019 dia menjadi salah seorang pembicara dalam Borobudur Writers & Cultural Festival 8th yang diselenggarakan di Yogyakarta. Pada tahun yang sama dia juga menjadi aktor dalam pementasan teater “Rashomon” yang diproduksi oleh Jalan Teater di Bandung.
Willy cakap menulis sajak dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Sunda. Akan tetapi sejauh ini antologi puisi tunggal yang sudah dia terbitkan baru puisi-puisi bahasa Indonesia. Dalam beberapa puisi terbaru dia, terbaca juga kecenderungan penyair muda ciamis ini menyelipkan diksi-diksi Bahasa Sunda ke dalam baris-baris berbahasa Indonesia.
Dua Sajak Sunda Willy Fahmy Agiska
WALUNGAN
Ah bodoteuing aing.
Teu dibaraca ieuh
ku maraneh ge.
Rek dipendet wae
ayeuna mah ku aing.
Rek maraneh
malidkeun ceurik
sorangan sorangan ge
da moal begug
Ngaganti eusina.
2022
BEURANG BEURANG BASA AING HUDANG DI KOSAN
beurang-beurang aing hudang
minus kaluarga, babaturan,
jeung basa—jiga biasa
panon poe angger hiji keneh
seuseuheun satangtung maneh.
“umur naek, biaya hirup naek”
ceuk bandera Indonesia
di lapang secapa
ah aing mah
naha teu bisa nyieun nagara
tina cipanon sia
2022
Begini kira-kira terjemahan dua sajak tersebut dalam bahasa Indonesia:
SUNGAI
Ah, peduli amat lah.
Toh kalian juga
gak pada baca.
Akan kubendung saja
olehku kini.
Meski kalian mau
menghanyutkan tangis
masing-masing juga
toh gak bakal mampu
mengganti isinya.
SIANG HARI SAAT AKU BANGUN DI KOS-KOSAN
siang hari aku bangun
tanpa keluarga, teman-teman,
dan bahasa—seperti biasa
matahari juga masih satu
cucian menggunung setinggi dirimu
“umur bertambah, biaya hidup pun nambah”
kata bendera Indonesia
di lapang Secapa.
ah, sialan
emang gak bisa ya bikin negara
dari air matamu
Sajak dipercaya sebagai jenis teks yang selalu ada yang luput ketika diubah ke dalam bahasa lain, misalnya nada atau atmosfer sajak. Sebagai penyair yang menulis dalam dua bahasa, Willy juga pernah mengungkapkan dalam satu percakapan bahwa ada hal-hal yang bisa diekspresikan dengan lebih gamblang jika dia menuliskannya sebagai sajak dalam bahasa Sunda daripada dalam bahasa Indonesia.
Saat membacakan sajak Sunda di Nyiar Lumar 2022, nada dan atmosfer itu diperkuat pula oleh suasana panggung alami dan remang cahaya obor. Tidak ketinggalan cara Willy melisankan sajak dia, terutama ketika dia mengulang-ulang bait terakhir sajak “Beurang-Beurang Basa Aing Hudang di Kosan”:
ah aing mah
naha teu bisa nyieun nagara
tina cipanon sia
Dibacakan dengan nada tanya yang diulang semakin lama semakin lirih, bait tersebut menciptakan keheningan dalam atmosfer melangut. Mungkin setiap penonton terseret ke dalam imajinasi membayangkan suasana bertanya-tanya seorang diri didorong campur aduk rasa terhadap sosok sia (pronomina kasar untuk kamu) yang entah di mana.
Mungkin juga karena setiap penonton memiliki sia-nya masing-masing yang mampu membuat mereka melangut, tepuk tangan mereka terdengar spontan dan riuh saat Willy membungkukkan badan pamit. Sesi dia membacakan puisi sudah usai, tetapi tidak demikian halnya dengan atmosfer yang dia ciptakan dengan hanya menggunakan dua buah sajak.