Childfree ala Gitasav di Momen Mantra Banyak Anak Banyak Rezeki Tak Lagi Ampuh

Ilustrasi Ibu dan Dua Anak
Sumber :
  • Pixabay / mohamed_hassan

MindsetBanyak Anak Banyak Rezeki adalah mantra populer yang pernah sangat ampuh. Akan tetapi jika ditelusuri ke masa beberapa dekade ke belakang, kita juga bisa menalar mengapa pada masa itu mantra tersebut bisa terbukti ampuh. 

Wisata Alam Kaliwungu Karawang, Hidden Gem di Tengah Kawasan Industri: Harga Tiket, Fasilitas, Rute

Sebagian orang mungkin menautkan keampuhan mantra itu sebagai keajaiban dari Tuhan yang memberi rezeki pada makhluk-Nya. Kita, dengan lebih logis, bisa mengatakan kini bahwa keampuhan mantra itu terjadi karena dukungan momentum dan tempat. 

Sederhananya, mantra tersebut ampuh pada masa ketika apa yang disebut kerja masih sangat tergantung pada bumi dan laut. Kalkulasi sederhana dari masa itu adalah pendapatan seorang petani akan menjadi 2 kali lipat jika dia sudah memiliki anak yang bisa menjual tenaga dan mendapatkan upah sebagaimana bapaknya.

LIN Kritisi Kebijakan Pemkab Ciamis dalam Mengatasi Tingginya Pengangguran Terbuka Kalangan Pemuda

Petani

Photo :
  • Pixabay / sasint
 

Kalkulasi semacam itu, sayangnya, tidak lagi mempan ketika pola kerja berubah digeser oleh industrialisasi. Anak-anak petani generasi industri tidak lagi memandang pekerjaan seperti bapaknya sebagai pekerjaan menarik. Apa yang lebih menarik bagi mereka adalah pekerjaan yang ditawarkan gemerlap kota. 

Update Populasi Indonesia Mei 2023, Indonesia Juara Keempat Dunia

Maka terjadilah urbanisasi, peristiwa sosial yang pada akhirnya menyebabkan berbagai masalah bukan hanya di kota tetapi juga di desa. Pada titik awal, banyak anak banyak rezeki memang masih berlaku, terutama karena anak-anak para petani itu pun menghasilkan uang di kota. 

Buruh Bangunan di Kota

Photo :
  • freepik.com

Akan tetapi ledakan urbanisasi pada akhirnya menyebabkan persaingan yang makin ketat, jumlah kerja yang tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Dalam kultur yang memandang kota lebih menarik, bahkan ketika persaingan di kota membuat sebagian anak-anak gagal mendapatkan rezeki, pekerjaan di kampung tetap tidak menarik bagi mereka. 

Hasilnya, di satu sisi mereka berpotensi menjadi pengangguran, satu masalah sosial baru untuk kampung, satu beban tambahan untuk bapak. Di sisi lain, sumber daya manusia di kampung yang tetap harus memproduksi pangan terus berkurang. 

Pada saat yang sama, tenaga sang bapak semakin lemah. Jalur kaderisasi pada generasi sebelumnya, di mana ketika sang bapak semakin lemah maka dia akan digantikan oleh anaknya yang masih kuat, tidak lagi berlangsung. Efeknya, selain pendapatan keluarga berkurang, produktivitas bahan pangan juga menurun, justru pada saat beban hidup bertambah akibat keberadaan anak pengangguran. 

Situasi-situasi semacam itu memudarkan mantra banyak anak banyak rezeki. Jika pada dekade-dekade sebelumnya banyak anak pasti banyak rezeki karena sang anak pasti mendapatkan pekerjaan sebagaimana dan nantinya menggantikan sang bapak, kini pola itu berubah.

Banyak anak berarti pasti lebih banyaknya biaya hidup. Sementara rezeki belum pasti bertambah banyak karena rezeki itu kini digantungkan pada gemerlap kota yang jauh dan perolehan serta besaran penghasilan yang didapatkan cenderung samar.

Nelayan

Photo :
  • Pixabay / Quangpraha
 

Ada memang upaya-upaya untuk kembali ke pola lama itu, terutama karena produksi pangan tetap harus dijaga sebagaimana ledakan urbanisasi cenderung menimbulkan masalah lebih besar daripada manfaat. 

Kementerian pertanian misalnya menyodorkan program petani milenial untuk daerah-daerah berbasis pertanian. Akan tetapi jalan masih panjang untuk kembali ke jalur lama ketika kultur baru sudah telanjur mapan: generasi muda yang telanjur gatal ketika kulitnya terkena lumpur cenderung lebih memilih menganggur daripada harus terjun mengolah bumi.

Baca Juga

Karena perubahan kultur semacam itulah kini bukan lagi zamannya menggantungkan hidup pada mantra banyak anak banyak rezeki. Kita mengatakan mantra itu makin pudar bukan karena kita tidak lagi percaya bahwa Tuhan adalah Maha Pemberi Rezeki, tetapi justru karena kita sadar bahwa sejak awal Tuhan memberi rezeki tidak dengan ujug-ujug mentransfer uang ke rekening atau menyediakan nasi dan lauknya di meja makan.

Kita melihat bahwa jalur lama rezeki dari Tuhan yang memanjurkan mantra banyak anak banyak rezeki sudah digantikan oleh jalur lain yang lebih samar. Jalur bumi (bertani) dan laut (melaut) yang menjamin tambahan rezeki sesuai jumlah anak digantikan oleh jalur industri yang lebih menggoda tetapi lebih selektif dan karenanya hasilnya lebih samar. 

Dalam situasi seperti itu, pembatasan populasi jelas merupakan alternatif yang penting untuk dipikirkan. Lebih jauh lagi, pada pasangan muda yang sejak awal sudah menjadi generasi yang mendapatkan rezeki bukan dari bumi seperti Gitasav, childfree bahkan bisa menjadi opsi yang lebih logis daripada mantra banyak anak banyak rezeki yang makin sayup.