Dalem Lenggana, Penguasa Bangkelung Pembuat Meriam Kyai Guntur Geni Mataram
- Penggiat Sejarah Sukadana
Mindset – Makam Dalem Lenggana berada di Situs Gunung Tengah Dusun Bantarsari Desa Margaharja Kecamatan Sukadana Kabupaten Ciamis. Lokasi makam berada pada puncak sebuah bukit dengan kondisi sudah ditembok dan bercungkup dengan jirat asli berada diluar dan dua nisan ditengahnya. Dalam folklore masyarakat Dalem Lenggana adalah salah seorang tokoh agama Islam yang saat itu memiliki kedudukan paling tinggi di Bangkelung, ia adalah pimpinan Pesantren dan memiliki banyak santri. Beliau juga dikenal dengan nama Kyai Gandumayak. Konon, ulama besar di Pamijahan Tasikmalaya, yaitu Syekh Abdul Muhyi, sempat menimba ilmu di pesantren ini.
Menurut H. Iwa, selaku kuncen Makam Dalem Lenggana (11/09/2017) Sejak masa kecilnya Dalem Lenggana dirorok (diurus) oleh Buyut Sayang, salah satu pemimpin di wilayah Bangkelung, hingga kemudian Dalem Lenggana mendirikan pesantren di daerah Cibalinaga, sekitar 400 meter dari situs makam Dalem Lenggana (Gunung Tengah).
Sebagai salah satu penyebar agama Islam, Dalem Lenggana banyak dimusuhi oleh orang-orang yang tidak menyukai ajaran islam, sehingga sering kali terjadi perkelahian dan penyerangan. Untuk melawan orang-orang yang memusuhinya, Dalem Lenggana meminta bantuan kepada 2 orang temannya yaitu Dalem Cakrawati yang berasal dari Panjalu, dan Ki Gedeng Utama dari Ciancang (Utama).
Dengan kehadiran dan bantuan kedua tokoh tersebut, Dalem Lenggana berhasil mengalahkan orang-orang yang memusuhinya. Bahkan untuk mengelabui musuhnya Dalem Lenggana sempat melakukan supata dengan mengatakan bahwa daerah pemukiman sekitar bangkelung merupakan "tegal eurih, tatangkalan, jeung mencek" (kebun alang-alang, pepohonan dan rusa), sehingga di pemukiman masyarakat tersebut yang terlihat oleh musuhnya hanyalah hutan yang penuh dengan tanaman eurih. Sampai sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama Cieurih.
Sebagai Ahli Pembuat Bedil (Meriam)
Dalam sebuah naskah kuno yang terdaftar pada Profil Kepariwisataan Kabupaten Garut terdapat cerita sejarah yang berkaitan dengan Bangkelung. Berdasarkan penelusuran Tim Penggiat Sejarah Sukadana, naskah ini dipegang oleh Bapak H. Adang (alm) di Kampung Cieunteung Desa Mekarluyu Kecamatan Sukawening Kabupaten Garut, yang bertulisan huruf arab pegon dengan kertas berbahan daluwang. Naskah tersebut diterjemahkan oleh Tarka Sutaraharja dari Sanggar Aksara Jawa (SAJA) Indramayu.
Diceritakan Sunan Amangkurat dari Kesultanan Mataram hendak melebur “tembaga putih” dari Tunjung Bang untuk dijadikan sebuah bedil (meriam). Sunan mengumpulkan para Adipati dan menanyakan pada mereka siapa yang sanggup melebur tembaga putih. Tapi tidak ada seorang pun dari para Adipati yang sanggup melakukannya. Kemudian Sunan Amangkurat bertapa di “Kedaleman”. Dalam pertapaan itu beliau mendapat petunjuk bahwa yang akan mampu melebur tembaga itu adalah seseorang bernama Kyai Gandumayak sayang wedal (berasal/keturunan dari) Pajajaran.
Kemudian Susuhunan menanyakan kepada para Adipati apakah ada yang bernama Kyai Gandumayak. Ki Ngabehi Wiranagga dari Galuh menjawab “Benar Gusti! Ada, tepatnya di wilayah Bangkelung.” Setelah mendengar jawaban Ki Ngabehi, Sang Sunan memanggil Kyai Gandumayak dan ditanya kesnggupannya untuk melebur tembaga putih, jika tidak sanggup maka akan dipenggal kepalanya. Kyai Gandumayak menyanggupi dengan kompensasi ia akan mendapatkan tanah (wilayah) kekuasaan.
Susuhunan mengabulkan permintaan Kyai Gandumayak dengan memberi beberapa opsi yaitu tanah dari Wiranangga di Galuh, Pangeran Sutajaya di Gebang, dan Pangeran Rangga Gempol di Sumedang. Kemudian tembaga putih itu dilebur oleh Kyai Gandumayak dan dijadikan bedil dan dinamakan Guntur Geni. Setelah selesai membuat bedil diangkat oleh Sunan Amangkurat menjadi Lurah dan diberi gelar Lurah Trenggana yang mempunyai cacah 750 jiwa, serta ditempatkan di Bangkelung, wilayah Galuh dan diberi Layang Piteket (Surat Piagam).
Dalam naskah dijelaskan bahwa Sunan Amangkurat membuat pernyataan/maklumat yang berisi penitipan Lurah Trenggana kepada 3 Tumenggung, 4 Rangga, dan 5 Lurah Wangsa Raja dan juga kepada Kompeni supaya jangan sekali-sekali diganggu. Pernyataan Sunan Amangkurat dilanjutkan oleh penggantinya yaitu Kangjeng Sunan Dipati Puger. Beliau berkata ”Saya menitipkan Lurah Trenggana kepada 3 tumenggung, 4 rangga, dan 5 Lurah Wangsa Raja, Kapiten Jangkung, dan Kapiten Mayor. Jika terdapat anak cucu Lurah Trenggana di tanah kulon atau dimana-mana jangan diperlakukan sewenang-wenang atau diperkerjakan oleh kompeni karena tidak punya tanah. Barangsiapa menghilangkan anak ayamnya, memperkerjakannya kepada kompeni dan menganiayanya, saya doakan celaka, durhaka serta tidak punya umur untuk keturunannya.”
Lurah Trenggana di Bangkelung besar kemungkinan adalah Dalem Lenggana, namun karena faktor pelafalan kata dalam bahasa sunda bunyi “Tr” lebih terdengar dan terasa “L”, sehingga sebutan Trenggana menjadi Lenggana. Kemungkinan peristiwa yang menyangkut Lurah Trenggana/ Dalem Lenggana di Bangkelung terjadi pada masa Patih Wiranangga sekitar tahun 1625-1636 M atau sebelum Wiranangga menjadi Patih yaitu sekitar tahun 1613-1625 M.
Sementara itu mengenai bedil Guntur Geni yang dibuat Kyai Gandumayak, menurut sebuah artikel yang pernah dimuat Tribunnews Jogja menceritakan bahwa Bedil yang bernama Kyai Guntur Geni di Mataram ini merujuk pada sebuah meriam. De Graaf mencatat, Pancawura atau yang juga dikenal dengan nama Kyai Guntur Geni ini dibuat pada 1625, berdasarkan sengkalan dari akronim Pancawura (Pandita Catur Wuruk ing Ratu) yaitu 1-5-4-7 Tahun Jawa jika dikonversi menjadi 1625 Masehi.
Hal yang menarik dari kisah tersebut adalah bahwa pada sekitar tahun 1625-an, seorang tokoh yang berasal dari Bangkelung telah mampu membuat sebuah bedil atau meriam yang akan digunakan oleh Kerajaan Mataram. Peristiwa tersebut menjadi titi mangsa berdirinya Desa Bangkelung dan titik awal Bangkelung menjadi sebuah wilayah otonom yang memiliki struktur pemerintahan tersendiri berdasarkan Layang Piteket (Surat Piagam) dari Sultan Mataram, dengan jumlah penduduk 700 cacah dan dipimpin oleh Lurah Trenggana atau Dalem Lenggana. Sebagai perbandingan pada saat itu seorang Dalem (Bupati) di Tatar Galuh rata-rata memiliki 500-700 cacah penduduk.
*) Penulis: Iwang R Aditya, Tim Penggiat Sejarah Sukadana
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi