Tradisi Lompat Batu 'Hombo Batu' Nias, Dari Latihan Prajurit hingga Warisan Budaya yang Mendunia
- Instagram/ Ninja Hatori Moto
Sumatera, Mindset – Pulau Nias yang terletak di bagian barat Sumatera memiliki berbagai tradisi yang sarat nilai sejarah dan budaya, salah satunya adalah Hombo Batu, atau lebih dikenal sebagai tradisi lompat batu.
Ritual unik ini telah menjadi ikon warisan budaya Nias yang terkenal hingga ke mancanegara.
Namun, lebih dari sekadar atraksi wisata, lompat batu memiliki sejarah yang dalam, berakar pada pelatihan prajurit di masa lampau.
Asal-Usul dan Makna Budaya
Melansir channel youtube RRI Net Official, menurut Ariston Manal, ketua harian lembaga adat desa Bawomataluo, lompat batu sudah ada sejak lebih dari 120 tahun lalu.
Tradisi ini awalnya berkembang di wilayah selatan Nias, terutama di desa-desa seperti Bawomataluo yang memiliki sejarah sebagai desa budaya dengan tradisi peperangan.
Di masa lalu, Hombo Batu bukan sekadar uji keterampilan, melainkan bagian dari latihan para prajurit.
"Lompat batu ini menjadi salah satu pelatihan penting untuk prajurit yang dipersiapkan menghadapi perang antar desa," jelas Ariston dikutip MindsetVIVA dari Channel Youtube RRI Net Official, Kamis (14/11).
Setiap pemuda yang ingin menjadi prajurit dilatih untuk melompati tumpukan batu setinggi sekitar 2 meter.
Hal ini menjadi simbol kesiapan fisik dan mental mereka untuk melewati tembok pertahanan desa tetangga dalam situasi perang.
Kemampuan melompati batu tersebut juga menandai transisi seorang pemuda dari masa remaja menuju kedewasaan, menegaskan statusnya sebagai pelindung desa.
Lompat Batu 'Hombo Batu', Dari Latihan Prajurit ke Atraksi Wisata
Meskipun fungsi awal Hombo Batu sebagai pelatihan prajurit telah berakhir seiring dengan berakhirnya tradisi peperangan antar desa. Warisan ini tetap dilestarikan oleh masyarakat Nias.
Saat ini, Hombo Batu lebih dikenal sebagai atraksi wisata dan ikon budaya Nias yang mendunia.
Wisatawan dari berbagai belahan dunia datang ke desa-desa seperti Bawomataluo untuk menyaksikan para pemuda lokal dengan penuh keberanian melompati batu.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh Silvest, seorang pelompat batu muda, tradisi ini tidak lagi diminati banyak anak muda.
"Dulu, ada 12 hingga 14 orang yang sering melompat, sekarang tinggal dua orang. Banyak orang tua melarang anak-anaknya karena resikonya besar dan tidak ada jaminan keselamatan," katanya.
Hal ini menggambarkan tantangan modern dalam melestarikan warisan budaya ini. Para pelompat batu sering mengalami cedera. Seperti patah tulang atau terkilir, tanpa dukungan medis atau finansial yang memadai.
Pemerintah belum memberikan jaminan keselamatan yang layak bagi para pelompat, meskipun Hombo Batu telah diusulkan sebagai Warisan Budaya Takbenda dari Sumatra Utara.
Upaya Pelestarian dan Tantangan Pelestarian Budaya
Meskipun tantangan pelestarian cukup berat, usaha untuk menjaga tradisi ini tetap hidup terus dilakukan.
Menurut Ariston, masyarakat adat Nias dan pemerintah setempat berupaya memasukkan Hombo Batu ke dalam daftar Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Ini merupakan langkah penting untuk menjaga agar budaya ini tetap dikenal dan diakui, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di tingkat global.
Selain itu, para pelompat berharap ada dukungan lebih lanjut dari pemerintah, tidak hanya dalam bentuk pengakuan budaya, tetapi juga dalam memberikan jaminan keselamatan dan peluang ekonomi bagi mereka.
"Kami berharap pemerintah bisa memberikan perhatian lebih, mungkin dengan melibatkan kami dalam event olahraga, atau memberikan pelatihan lanjutan," tambah Silvest.
Hombo Batu bukan sekadar tradisi lompat batu yang menakjubkan. Di baliknya, terdapat sejarah yang kaya sebagai bagian dari pelatihan prajurit di masa lalu.
Namun, seperti banyak tradisi lainnya, Hombo Batu menghadapi tantangan besar di era modern. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat, sangat penting untuk memastikan tradisi ini tidak punah dan tetap menjadi kebanggaan Nias serta Indonesia di mata dunia. *AT