Dari Bu Bidan Rita ke Bu Guru Salsa: Mengapa Konten Syur Berjilbab Selalu Jadi Buruan Netizen?
- Ist
Mindset – Mengapa konten syur berjilbab seperti kasus Bu Bidan Rita dan Bu Guru Salsa selalu viral? Simak analisis dampak psikologis, hukum, dan peran netizen dalam menyikapi fenomena ini.
Belakangan, nama Bu Bidan Rita ramai diperbincangkan setelah video syur berjilbab diduga menampilkan dirinya beredar di platform seperti X (Twitter) dan TikTok.
Kasus ini mengingatkan pada viralnya Bu Guru Salsa beberapa waktu lalu. Keduanya memiliki kesamaan: sosok berjilbab dalam konten eksplisit.
Mengapa konten seperti ini selalu memicu eksploitasi massal? Apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena ini?
Paradoks Jilbab dan Voyeurisme Digital
Tangkapan layar Video Bidan Rita di Kamar Mandi yang Lagi Viral.
- Ist
Jilbab, simbol religius yang kerap dikaitkan dengan kesucian, justru menjadi daya tarik utama dalam konten syur yang viral.
Menurut psikolog media, Dr. Andi Pratama, masyarakat cenderung tertarik pada kontras antara citra kesalehan dan konten eksplisit.
"Ini memicu rasa penasaran yang bersifat voyeuristik, di mana netizen ingin 'membongkar' sisi tersembunyi dari simbol yang dianggap sakral," dikutip MindsetVIVA dari UNISMA Respository, Rabu (19/03).
Kasus Bu Bidan Rita dan Bu Guru Salsa menjadi contoh nyata: video yang menampilkan aktivitas tak senonoh di kamar mandi atau ranjang justru mendapat jutaan pencarian karena "nilai kejutan" dari penggunaan jilbab.
Algoritma Media Sosial: Memperparah atau Mengontrol?
Sosok Wanita Video Bidan Rita di Kamar Mandi yang Lagi Viral.
- Ist
Platform seperti TikTok dan X (Twitter) sebenarnya memiliki kebijakan ketat terhadap konten pornografi.
Namun, akun-akun anonim kerap memanfaatkan celah dengan mengunggah cuplikan singkat atau tautan yang mengarah ke konten lengkap.
Algoritma yang dirancang untuk mendeteksi engagement justru memperburuk situasi—semakin banyak yang mencari, semakin luas penyebarannya.
Berdasarkan pantauan MindsetVIVA, setidaknya 24 video terkait Bu Bidan Rita beredar dalam 72 jam pertama. Ironisnya, upaya penghapusan konten sering kalah cepat dengan kecepatan duplikasi oleh akun-akun bot.
Aspek Hukum: Jerat UU ITE dan UU Pornografi
Penyebaran konten syur berjilbab bukan hanya masalah moral, tetapi juga pelanggaran hukum.
Pasal 4 UU Pornografi dan Pasal 27 UU ITE mengancam hukuman hingga 10 tahun penjara bagi pembuat dan penyebar konten pornografi. Bahkan bagi netizen yang sekadar membagikan tautan, ancamannya tetap serius: denda hingga Rp1 miliar.
Namun, penegakan hukum kerap terhambat oleh sulitnya melacak akun anonim dan minimnya laporan dari korban. Banyak kasus seperti ini berakhir tanpa kejelasan, sementara reputasi korban sudah terlanjur hancur.
Dampak Sosial: Stigma dan Trauma Korban
Korban seperti Bu Bidan Rita dan Bu Guru Salsa tidak hanya kehilangan privasi, tetapi juga menghadapi stigma ganda: sebagai perempuan berjilbab dan "pelaku" konten syur
Lembaga Bantuan Hukum Perempuan (LBHP) mencatat, 70% korban kebocoran konten intim mengalami depresi berat dan kesulitan kembali ke kehidupan normal.
Di sisi lain, masyarakat justru kerap menyalahkan korban dengan pertanyaan seperti, "Mengapa sampai merekam?" alih-alih mengecam pelaku penyebaran. Hal ini mencerminkan budaya victim-blaming yang masih mengakar.
Netizen: Antara Penasaran dan Tanggung Jawab Moral
Tampilan Tiktok di Smartphone.
- Unplash.com
Fenomena pencarian link konten syur berjilbab menunjukan dilema netizen: di satu sisi ingin memuaskan rasa penasaran, di sisi lain sadar bahwa tindakan itu melanggar hukum.
Survei Digital Ethics Forum 2023 mengungkap, 65% netizen Indonesia pernah mengakses konten syur "hanya karena ingin tahu", meski 80% di antaranya tahu risikonya.
Pakar komunikasi Rina Wijayanti mengingatkan, "Setiap klik dan share adalah bentuk partisipasi dalam kejahatan digital. Bijaklah berpikir sebelum bertindak."
Kasus Bu Bidan Rita dan Bu Guru Salsa adalah cermin kegagalan kolektif dalam menghargai privasi. Di era di mana konten bisa viral dalam hitungan detik, kunci utama adalah kesadaran bahwa di balik layar ada manusia dengan harga diri. Mari jadikan internet ruang yang beradab—bukan alat untuk menghancurkan sesama. *AT