Pentas Sidamoktaning Bubat, Rekonstruksi Pasunda Bubat di Nyiar Lumar 2022

Sidamoktaning Bubat
Sumber :
  • Willy Fahmy Agiska

MindsetSidamoktaning Bubat adalah pementasan utama Nyiar Lumar 2022 di Situs Astana Gede Kawali. Dipentaskan oleh Teater Tangtu Tilu Universitas Galuh di Pasanggrahan sebagai pementasan yang menyajikan kisah Pasunda Bubat, pentas tersebut menjadi satu yang paling ditunggu-tunggu publik yang hadir. Bahkan jauh sebelum pentas berlangsung beberapa saat setelah pergantian hari masuk Hari Natal 2022, arena sudah dikurung rapat oleh penonton. 

Semula saya berencana datang awal, memilih tempat duduk paling strategis dan menonton dengan tenang. Akan tetapi pementasan Janin dalam Pelukan Bulan oleh Teater Dongkrak Tasikmalaya di panggung Paris 2 tepat sebelum Sidamoktaning Bubat terlalu menarik untuk tidak ditonton. Afair Mandiminyak dengan Rababu bukan kisah yang kerap diungkit dan saya tak menyesal mengorbankan tempat menonton yang nyaman demi menonton fragmen kisah yang dipentaskan dengan unik itu. 

Sidamoktaning Bubat dipentaskan di Pasanggrahan, sebuah cekungan balong gede kering yang menandai akhir perjalanan mencari lumar, jamur cahaya. Sebuah panggung menayangkan layar besar, di kiri kanan dua menara bambu menjulang tempat narator menjelaskan latar tempat dan waktu. Dari kejauhan tempat saya berdiri menonton sambil berdiri bersandar pohon, para aktor tampak sebagai dua jenis bayang: bayang putih di pelataran, siluet pada layar. 

Pada permulaan terdengar kidung dari pembukaan sajak Sayudi “Lalaki di Tegal Pati”:

Citraresmi sari wangi

si Lenjang bulan ngalangkang

sampulur miindung layung 

lampayak mirupa merak

sampayan kembang kamelang

kembang dada Sri Baduga

nu ngageugeuh taneuh pageuh

di buana warna warna

(Citraresmi kembang harum | ramping cerminan rembulan | sempurna putri lembayung | semampai serupa merak | tempat disematkan bunga kecemasan | kesayangan Sri Baduga | penguasa tanah kokoh | di bumi yang fana)

Lalu para aktor melakonkan adegan demi adegan merekonstruksi kisah pertunangan yang berujung pertumpahan darah karena campur tangan papatih curang. Koreografi apik para aktor berjalin siluet pada layar menampilkan adegan riuh, ditimpali artikulasi dua narator dari dua menara yang handaru ka jomantara, nembus langit-langit pingpitu, bergema ke awang-awang, menembus langit ketujuh. Sidamoktaning Bubat tampaknya dipentaskan dengan keakraban penuh tentang latar panggung khusus. 

Dengan kata lain, tidak ada yang menyimpang dari pakem alur yang sudah kita hafal pada kisah yang dipentaskan. Akan tetapi dipentaskan di tengah hutan dengan properti terbuat seluruhnya dari bahan-bahan yang alam sediakan dengan penonton sebagai campuran antara manusia dan pohon-pohon di kursi gelanggang tersusun dari undakan-undakan tanah, pementasan itu sejak awal memiliki sokongan kuat untuk mereproduksi ulang atmosfer tahun 1279 Saka. 

Dari Gentala Bubat ke Sidamoktaning Bubat

Sidamoktaning Bubat

Photo :
  • Willy Fahmy Agiska

 

Dalam pementasan Sidamoktaning Bubat pada Nyiar Lumar 2022, memang ada bagian-bagian yang bisa dianggap kekurangan. Artikulasi Sri Baduga Maharaja ketika berteriak Lalaki aing lalaki | tukang nguyup getih jurit | tukang ngakan bayah perang | geura datang raja cidra | geura datang sato jalma | papagkeun aing ku tumbak | jajapkeun ka tungtung duhung | nya hulu aing Citanduy | haté aing Cisadané | nunjang ngulon Ujungkulon | mun saat kakara paragat yang kalah menggetarkan dibandingkan yang dipantik oleh puisi utuh Sayudi, Putri Citraresmi yang menyajikan ratapan terlalu panjang sehingga tak tampak keteguhan hati perempuan yang gagah mengucapkan daripada pasrah pada Raja khianat | mending aku menikah dengan maut, maupun Hayam Wuruk yang lebih tampak sebagai perantau udik yang bingung karena kecopetan saat pertama kali ke ibu kota daripada seorang raja Jawa. 

Namun poin-poin seperti itu tentu merupakan persoalan tafsir dan tidak ada siapa pun memiliki hak untuk memaksakan tafsir sebagai yang paling benar. Lagi pula menampilkan Hayam Wuruk sebagai korban copet yang bingung misalnya mungkin justru sesuai: kita tahu pencopetnya Gajah Mada. Selain itu, apa boleh buat meski banyak menyajikan petikan-petikan puisi Sayudi, pementasan ini memiliki basis naskah sendiri dan membandingkannya dengan resepsi personal atas puisi Sayudi belaka akan terlihat tidak adil. 

Sidamoktaning Bubat tampaknya menggunakan naskah Gentala Bubat karya Hadi Aks sebagai basis. Dalam Panggelar Sastra: Kumpulan Naskah Pagelaran (cet. 1 2004, cet. 2 2015), naskah Gentala Bubat dimuat sebagai bagian dari Bab Dramatisasi Sastra dan secara spesifiknya merupakan Dramatisasi Novel. Pada catatan di bagian akhir naskah, disebutkan naskah tersebut disusun berdasarkan novel Perang Bubat karya Yoseph Iskandar dan ditambah sajak “Lalaki di Tegal Pati” karya Sayudi serta petikan dari Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara

Selain itu ditambah juga catatan bahwa naskah tersebut pernah disajikan sebagai dramatic reading oleh Teater 7 Damar Bandung dalam Nyiar Lumar kedua tahun 2000. Berdasarkan penelusuran di internet, naskah Gentala Bubat juga tercatat pernah dipentaskan oleh Teater Paseban dalam Nyiar Lumar kedelapan tahun 2012. 

Sementara itu, Sidamokta bukan lema yang bisa ditemukan dalam deret kamus basa Sunda Rigg-Satjadibrata-Hardjadibrata-Danadibrata. Istilah itu berasal dari bahasa Sunda Kuno yang bisa ditemukan misalnya dalam Prasasti Batutulis Bogor. Tertulis dengan aksara Kawi di sana sida mokta di guna tiga dan sida mokta ka nusalara(ng), diterjemahkan oleh Saléh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi sebagai dikuburkan di Guna Tiga dan dikuburkan di Nusa Larang

Dengan demikian, Sidamoktaning Bubat bisa dimaknai sebagai dikuburkan, dikebumikan, atau dipusarakan di Bubat. Jika memang makna itulah yang disodorkan maka akan lebih pas jika kita menafsirkannya secara metaforis terutama karena kita tahu karakter-karakter utama cerita tidak dipusarakan di palagan Bubat.    

Dengan segala kelebihan panggung alam yang di sisi lain juga menuntut keprigelan juru pentas menyesuaikan cara menyajikan adegan, adegan-adegan yang membutuhkan peran banyak orang seperti kepanikan rakyat saat bencana alam terjadi sebagai pertanda buruk ataupun saat campuh pertempuran Bubat layak mendapatkan acungan jempol.   

Setelah pertempuran itu, dari kegelapan, Hayam Wuruk tampak sebagai titik merah gelap pada lanskap remang. Cahaya obor dan jarak tak sampai membuat wajahnya terang meski kita bisa menebak apa yang dia rasakan dengan lebih baik justru ketika dia diam. Ketika cemooh dari penonton terhadap perannya dalam tragedi Bubat spontan terdengar, apa yang kian jelas hanya satu hal: titik merah itu adalah sebuah noda, dalam sejarah, dalam relasi Sunda-Jawa, dalam kisah cinta yang seharusnya berakhir bahagia. 

Saat Putri Citraresmi labuh pati, saya membayangkan Pasanggrahan, balong gede yang dijadikan tempat pentas itu sebagai lanskap kecil tempat juru pantun mengisahkan ulang tragedi Bubat saat penanggalan 1279 Saka belum lama berlalu. Pada saat itu, saya yakin semua rakyat Tatar Galuh menekurkan kepalanya sedih, kesedihan yang kemudian diwariskan sebagai ketaksadaran kolektif kepada generasi-generasi seterusnya dan mengilhami banyak penulis untuk merekonstruksi kisah tersebut dalam berbagai bentuk karya. 

Oleh sebab itu saya pikir pementasan Sidamoktaning Bubat bukan pementasan yang memiliki akhir. Sebagai sebuah pementasan ia memang memiliki unity of time dan karenanya batas durasi, tetapi sebagai sebuah warisan kultural tak pernah ada tirai turun. Kesedihan yang sama akan direproduksi kelak dalam pagelaran Pasunda Bubat di pengujung Nyiar Lumar 2024, 2026, 2028. 

Yang Tersisa dari Sidamoktaning Bubat

Sidamoktaning Bubat

Photo :
  • Willy Fahmy Agiska

 

Sudah lewat pukul satu dini hari ketika Sidamoktaning Bubat usai dipentaskan dan pagelaran penutup Nyiar Lumar 2022 diselenggarakan, Ronggeng Gunung Bi Raspi. Lelatu meletik dari api unggun, menara prajurit pengawas/narator sudah kosong, rasa hangat menjalar mengusir udara dingin Astana Gede. 

Dalam perjalanan meninggalkan Pasanggrahan, melangkah melintasi jalan yang diapit pohon Jati, pohon Mahoni, terasa tertinggal rasa sedih yang dingin. Saya teringat siang sebelumnya saat menekur di depan perabuan Putri Citra Resmi, mengalun baris-baris penutup puisi Sayudi yang pertama kali saya temukan di buku pelajaran Gapura Basa masa kecil:

Hiuk angin wawangian

mirig Putri nu lastari

dipapag ku katumbiri

Jelas bukan cahaya Lumar yang menuntun saya kembali malam itu, cahaya bioluminesensnya kalah oleh remang cahaya obor di kiri kanan jalan. Akan tetapi bayang-bayang putri yang pergi diiring angin semerbak | disambut oleh pelangi tetap menemani saat saya beberapa kali berhenti di depan tiap-tiap bekas tempat pentas yang sudah sepi. Ketika kaki saya sudah tak lagi menginjak jerami dan cahaya tahun 2022 yang kian pudar menyambut, spontan saya mengucapkan penutup puisi Sayudi perlahan: urang tutup galur catur | padakeun tepi ka dinya | Bral. 

Seorang gadis yang dari tadi berjalan di belakang saya menyalip langkah sambil melayangkan tatap heran. Wajah setengah siluetnya seperti sisa memori yang meronta ingin ikut merayakan pagi. Mungkin dia mengira saya mabuk dan membayangkan diri juru pantun keraton agung Surawisésa. 

Mengikuti langkahnya melintasi pelataran, saya baru sadar bahwa saya lelah dan mengantuk. Akan tetapi saya yakin dalam tidur setelah itu saya pasti memimpikan fragmen-fragmen kisah dari masa yang jauh dalam lanskap yang hanya diterangi lumar-lumar kecil di atas lumut bebatuan tak jauh dari perabuan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi di Astana Gede Kawali.