Pentas Sidamoktaning Bubat, Rekonstruksi Pasunda Bubat di Nyiar Lumar 2022
- Willy Fahmy Agiska
Selain itu ditambah juga catatan bahwa naskah tersebut pernah disajikan sebagai dramatic reading oleh Teater 7 Damar Bandung dalam Nyiar Lumar kedua tahun 2000. Berdasarkan penelusuran di internet, naskah Gentala Bubat juga tercatat pernah dipentaskan oleh Teater Paseban dalam Nyiar Lumar kedelapan tahun 2012.
Sementara itu, Sidamokta bukan lema yang bisa ditemukan dalam deret kamus basa Sunda Rigg-Satjadibrata-Hardjadibrata-Danadibrata. Istilah itu berasal dari bahasa Sunda Kuno yang bisa ditemukan misalnya dalam Prasasti Batutulis Bogor. Tertulis dengan aksara Kawi di sana sida mokta di guna tiga dan sida mokta ka nusalara(ng), diterjemahkan oleh Saléh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi sebagai dikuburkan di Guna Tiga dan dikuburkan di Nusa Larang.
Dengan demikian, Sidamoktaning Bubat bisa dimaknai sebagai dikuburkan, dikebumikan, atau dipusarakan di Bubat. Jika memang makna itulah yang disodorkan maka akan lebih pas jika kita menafsirkannya secara metaforis terutama karena kita tahu karakter-karakter utama cerita tidak dipusarakan di palagan Bubat.
Dengan segala kelebihan panggung alam yang di sisi lain juga menuntut keprigelan juru pentas menyesuaikan cara menyajikan adegan, adegan-adegan yang membutuhkan peran banyak orang seperti kepanikan rakyat saat bencana alam terjadi sebagai pertanda buruk ataupun saat campuh pertempuran Bubat layak mendapatkan acungan jempol.
Setelah pertempuran itu, dari kegelapan, Hayam Wuruk tampak sebagai titik merah gelap pada lanskap remang. Cahaya obor dan jarak tak sampai membuat wajahnya terang meski kita bisa menebak apa yang dia rasakan dengan lebih baik justru ketika dia diam. Ketika cemooh dari penonton terhadap perannya dalam tragedi Bubat spontan terdengar, apa yang kian jelas hanya satu hal: titik merah itu adalah sebuah noda, dalam sejarah, dalam relasi Sunda-Jawa, dalam kisah cinta yang seharusnya berakhir bahagia.
Saat Putri Citraresmi labuh pati, saya membayangkan Pasanggrahan, balong gede yang dijadikan tempat pentas itu sebagai lanskap kecil tempat juru pantun mengisahkan ulang tragedi Bubat saat penanggalan 1279 Saka belum lama berlalu. Pada saat itu, saya yakin semua rakyat Tatar Galuh menekurkan kepalanya sedih, kesedihan yang kemudian diwariskan sebagai ketaksadaran kolektif kepada generasi-generasi seterusnya dan mengilhami banyak penulis untuk merekonstruksi kisah tersebut dalam berbagai bentuk karya.
Oleh sebab itu saya pikir pementasan Sidamoktaning Bubat bukan pementasan yang memiliki akhir. Sebagai sebuah pementasan ia memang memiliki unity of time dan karenanya batas durasi, tetapi sebagai sebuah warisan kultural tak pernah ada tirai turun. Kesedihan yang sama akan direproduksi kelak dalam pagelaran Pasunda Bubat di pengujung Nyiar Lumar 2024, 2026, 2028.