5 Statemen Keliru dan Konyol tentang AA Navis dan Karyanya
- Design: MindsetVIVA
Mindset –AA Navis adalah sastrawan Angkatan 66 yang nama dan karyanya belakangan kembali menjadi bahan perbincangan hangat.
Hal itu terjadi terutama setelah pada 22 November 2023 UNESCO menetapkan hari lahir AA Navis sebagai salah satu perayaan internasional.
Artinya, 100 tahun AA Navis yang jatuh pada 17 November 2024 resmi ditetapkan UNESCO sebagai peringatan internasional.
Pada masanya, AA Navis dan karyanya juga kerap diperbincangkan karena aspek kontroversial yang termuat.
Cerpennya yang paling terkenal dan dimuat dalam antologi Angkatan 66 susunan HB Jassin, Robohnya Surau Kami (1955), membuat dia dituduh komunis, Murba, dan mengejek Islam.
Kemudian cerpennya yang lain, Man Rabuka (1957), memicu reaksi keras dari umat Islam sampai akhirnya ditarik dari media yang memuatnya.
Karya-karya AA Navis banyak dan bervariasi, baik berupa buku utuh ataupun cerpen, novel, puisi, dan esai yang kemudian dipublikasikan dalam bentuk buku.
Cerpen lengkap Navis misalnya sudah diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas dengan judul Antologi Cerpen Lengkap AA Navis (2004), memuat 68 cerpen.
Beberapa novelnya juga sudah diterbitkan, termasuk yang sebelumnya dimuat sebagai cerbung di media seperti Kemarau dan Gerhana.
Seleksi tematik esai AA Navis juga sudah diterbitkan sebagai Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999), memuat 50 esai.
Kini, setelah penetapan peringatan seabad AA Navis oleh UNESCO, terjadi demam Navis di Indonesia, fenomena yang secara umum menggembirakan karena bisa memantik pembacaan ulang terhadap karya-karyanya.
Tulisan ini sekadar ikut merayakan kegembiraan tersebut dengan cara menunjukkan kekurangcermatan beberapa penulis saat menulis tentang AA Navis dan karyanya.
Kekurangcermatan tersebut melahirkan statemen yang sebagian murni keliru, sebagian lainnya selain keliru juga konyol.
1. Publikasi Di Lintasan Mendung
Dalam buku A.A. Navis: Karya dan Dunianya (2003), Ivan Adilla menulis bahwa Di Lintasan Mendung dipublikasikan dalam bentuk cerita bersambung di harian Suara Pembaruan tahun 1983.
Buku Ivan Adilla merupakan buku referensi yang sejauh ini bisa dikatakan paling lengkap membahas AA Navis dan karyanya.
Buku ini juga termasuk buku sastra yang direkomendasikan untuk jenjang SMA/SMK/MA/MAK oleh Tim Penyusun Pusat Perbukuan Kemendikbudristek RI 2023-2024.
Oleh karena itu, tampaknya dalam edisi cetak ulang perlu dilakukan sedikit revisi terkait informasi media tempat publikasi Di Lintasan Mendung tersebut.
Merujuk pada buku Otobiografi A.A. Navis (1994) susunan Abrar Yusra, Di Lintasan Mendung memang dipublikasikan tahun 1983, tetapi bukan dalam harian Suara Pembaruan melainkan Sinar Harapan.
Informasi Abrar Yusra tersebut lebih logis juga karena Suara Pembaruan yang merupakan lanjutan dari Sinar Harapan baru terbit tahun 1987 setelah setahun sebelumnya Sinar Harapan dibredel.
2. Cerpen “Kemarau di Maninjau”
Lembar Iqra Majalah TEMPO edisi 4 September 2016 menyajikan judul Siapa Tuhanmu: A.A. Navis dan ‘Man Rabuka’.
Selain membahas seputar cerpen kontroversial Man Rabuka, edisi tersebut juga menyajikan tulisan singkat tentang kiprah AA Navis dan esai Ismet Fanany sebagai kurator dan editor Antologi Lengkap Cerpen AA Navis.
Sayangnya, pada halaman 53, tertulis kalimat-kalimat sebagai berikut:
Navis menolak keras dicap komunis. Dia mencoba menyatakan ia bukan komunis melalui sebuah cerpen berjudul “Kemarau di Maninjau”. Cerpen ini menjawab dugaan teman-temannya yang mengira dirinya komunis.
Sejauh penelusuran penulis, tidak tercatat ada cerpen AA Navis berjudul “Kemarau di Maninjau” baik di buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi (1988) susunan Ernst Ulrich Kratz ataupun dalam buku Antologi Lengkap Cerpen AA Navis.
Adapun dalam deretan karya AA Navis yang ada adalah novel Kemarau, semula dipublikasikan di harian Res Publika tahun 1964 dan kemudian dibukukan tahun 1967.
Besar kemungkinan yang dimaksud oleh statemen dalam lembar Iqra tersebut adalah novel Kemarau ini, terutama karena dalam tulisan AA Navis sendiri pada Otobiografi susunan Abrar Yusra, hal. 123, tertulis kalimat-kalimat begini:
Saya pikir, sebagai pengarang saya harus menyatakan bahwa saya bukan komunis. Caranya? Yah, dengan menulis novel. Maka di Maninjau lahirlah novel Kemarau.
3. Nama AA Navis
Dalam tulisan Noer Huda berjudul Mengenal AA Navis, Sastrawan Indonesia yang Diakui UNESCO (2023) di Jurnal Faktual, tertulis informasi sebagai berikut:
AA Navis lahir pada 17 November 1924 di Padang, Sumatra Barat. Nama aslinya adalah Abdoel Aziz. Ia mengambil nama pena AA Navis dari nama ayahnya, Navis, dan inisial nama ibunya, Aminah.
Sudah umum diketahui bahwa nama lengkap AA Navis adalah Ali Akbar Navis. Hal tersebut juga sebagaimana ditulis oleh HB Jassin dalam Angkatan 66 (1968) ataupun Otobiografi susunan Abrar Yusra.
Dalam Otobiografi, AA Navis sendiri menyatakan begini:
Ayah dan ibu saya memberi saya nama Ali Akbar, lalu dipanggil si Ali atau si Kabar oleh teman-teman saya. Sedangkan Engku Guru di sekolah memanggil saya Akbar atau Ali.
Dalam buku yang sama, AA Navis juga menyatakan bahwa nama ayahnya Nafis Sutan Marajo dan nama ibunya Sawiyah.
Sementara tentang ejaan Navis yang dia gunakan, Navis menyatakan bahwa semua saudaranya menggunakan nama tambahan dengan ejaan Nafis sesuai nama ayahnya dan hanya dia sendiri yang mengeja nama tambahan tersebut sebagai Navis.
4. Cerita Robohnya Surau Kami
Masih dalam tulisan sama di Jurnal Faktual, disebutkan bahwa cerpen Robohnya Surau Kami mengisahkan tentang runtuhnya sebuah surau akibat ulah seorang pemuda yang membawa perempuan ke dalamnya.
Faktanya, cerpen Robohnya Surau Kami sama sekali bukan mengisahkan cerita semacam itu.
Benar bahwa ada surau yang hampir roboh dalam cerita tersebut, tetapi tidak ada kisah pemuda yang membawa perempuan ke dalamnya.
Jika ingin fokus pada kisah mengapa surau tersebut hampir roboh maka sebabnya karena garin tua penunggunya sudah tiada, dia meninggal karena bunuh diri.
Penyebab bunuh dirinya bisa dikaitkan dengan cerita sindiran yang disampaikan oleh karakter Ajo Sidi tentang pengadilan Tuhan di Hari Kiamat.
Dalam cerita sindiran tersebut, karakter Haji Saleh dan kawan-kawannya yang selama hidup rajin beribadah ternyata masuk neraka.
Alasannya karena mereka egois, hanya mementingkan diri sendiri melalui ibadah ritual dan mengabaikan peran sosial mereka.
5. Novel, Kumpulan Esai, dan Kumpulan Kritik Sastra AA Navis
Masih dalam tulisan sama di Jurnal Faktual, disajikan informasi adanya 3 buku karya AA Navis berupa novel, kumpulan esai, dan kumpulan kritik sastra lengkap dengan sinopsisnya.
Ketiga buku tersebut berturut-turut berjudul Lubang di Laut (1961), Kota-Kota yang Saya Kenal (1972), dan Sekitar Prosa Indonesia Baru (1975).
Uniknya, ketiga karya tersebut sama sekali tidak tercatat dalam sumber-sumber buku kredibel yang mendaftar karya-karya AA Navis, termasuk A.A. Navis: Karya dan Dunianya dan Otobiografi A.A. Navis.
Penelusuran menggunakan penanda tahun publikasi pada Bibliografi Sastra Indonesia susunan Pamusuk Eneste juga tidak membuahkan hasil.
Jika benar memang ada karya-karya AA Navis sebagaimana disebutkan dalam tulisan di Jurnal Faktual tersebut maka sangat penting teksnya disebarkan ke publik.
Dengan demikian, nantinya bukan hanya penulisnya saja yang mengetahui bahwa ternyata selama ini ada karya-karya AA Navis yang belum tercatat, tetapi juga para kritikus dan publik pembaca.
Hal tersebut tentu akan merupakan kejutan menyenangkan dalam acara Seabad AA Navis yang kini sedang dipersiapkan di berbagai daerah.
Demikian 5 statemen keliru dan sebagian konyol tentang AA Navis dan karyanya, Sobat Mindset, semoga informasi ini bisa menambah kejelian, sikap kritis, dan rasa cinta kita terhadap teks.