Nyiar Lumar 2022 Mementaskan Bubat dan Puisi Citraresmi, Simak Puisi Sunda Lain dengan Tema Serupa
- Instagram @disbudpora.ciamis
Mindset –Nyiar Lumar 2022 akan dilangsungkan pada hari Sabtu, 24 Desember 2022 di Situs Astana Gede Kecamatan Kawali Kabupaten Ciamis. Ada banyak sekali pentas seni lokal yang ditampilkan, dari mulai Bebegig Baladdewa Sukamantri sampai Tari “Kalang Sunda” dan Tarawangsa Sanggar Seni Lingga Purbasari Baregbeg.
Selain itu, ada juga musikalisasi sajak Citraresmi oleh Diani Raras Puspita dan pementasan “Sidamoktaning Bubat” oleh Teater Tangtu Tilu Unigal. Pementasan tersebut adalah acara yang selalu ada dalam rangkaian acara Nyiar Lumar, ditempatkan sebelum pentas terakhir yaitu Ronggeng Gunung.
Dyah Pitaloka Citraresmi adalah putri Kerajaan Sunda yang sejak abad ke-14 beribukota di Kawali. Dia adalah putri yang berangkat bersama ayahnya Maharaja Prabu Linggabuana dan ibunya Ratu Laralinsing ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan dengan Raja Hayam Wuruk.
Sayangnya, akibat sikap keras Mahapatih Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya, peristiwa itu berujung pertempuran di Bubat. Tragedi Bubat tersebut kemudian menjadi trauma yang memengaruhi relasi antara Jawa dan Sunda yang sisa-sisanya masih bisa dirasakan bahkan sampai sekarang.
Ada sangat banyak karya seni dan sastra yang mengangkat kisah Putri Citraresmi maupun peristiwa Bubat. Selain puisi yang akan dibacakan dalam Nyiar Lumar 2022 dan pementasan “Sidamoktaning Bubat”, salah satu puisi dalam antologi yang biasa dianggap sebagai antologi pertama puisi Sunda pun mengangkat kisah tersebut.
Antologi Puisi Sunda Pertama dan Puisi tentang Putri Citraresmi
Perihal siapa bapak puisi Sunda biasanya menjadi perdebatan antara pihak yang memilih Kis. Ws. atau Kiswa Wiriasasmita dan pihak yang memilih K.T.S. atau Kadir Tisna Sujana. Akan tetapi perihal buku kumpulan puisi sunda siapa yang pertama terbit, biasanya semua sepakat jawabnya adalah buku Lalaki di Tegal Pati karya Sayudi.
Sayudi adalah sastrawan kelahiran Bandung 1 Mei 1932 dan meninggal pada 29 Maret 2000. Antologi puisi dia Lalaki di Tegal Pati: Sadjak-Sadjak Sunda pertama kali diterbitkan oleh penerbit Kiwari pada tahun 1963. Setelahnya antologi tersebut diterbitkan oleh Rahmat Cijulang. Puisi yang dijadikan judul adalah puisi terakhir dalam antologi dan bertitimangsa tahun 1960.
Puisi “Lalaki di Tegal Pati” dimuat juga secara utuh dalam Kanjutkundang: Prosa jeung Puisi Sunda Sabada Perang yang dikurasi dan disusun oleh Ajip Rosidi dan Rusman Sutiasumarga. Jika dibandingkan, ada beberapa perbedaan antara versi Rahmat Cijulang dengan versi Kanjutkundang, misalnya mun saat tara paragat (versi Kanjutkundang) dengan mun saat kakara paragat (versi Rahmat Cijulang) atau dibebener kana angen (versi Kanjutkundang) dengan dibebener kana tenggek (versi Rahmat Cijulang).
Puisi “Lalaki di Tegal Pati” termasuk puisi panjang, 15 halaman dalam versi Rahmat Cijulang. Puisi ini dibuka dengan baris-baris pujian terhadap sosok Putri Citraresmi:
Citraresmi sari wangi
si Lenjang bulan ngalangkang
sampulur miindung layung
lampayak mirupa merak
sampayan kembang kamelang
kembang dada Sri Baduga
nu ngageugeuh taneuh pageuh
di buana warna-warna
Setelahnya dikisahkan bagaimana sang putri tiba di Bubat tempat pasanggrahan supa mayak | umbul-umbul hulu maung | rurumbe tameng ranggeteng. Muatan emosi dalam baris-baris seperti ini juga sangat terasa:
Ratu tipu!
raja nista!
subaya dipulang cidra
nu Geulis dipulang keris
Dalam puisi juga kemudian dikisahkan kegagahan Sri Baduga dengan baris-baris yang sangat puitis. Baris-baris berikut ini disebutkan sebagai kata-kata dia sebagai Putu Galuh:
Lalaki aing lalaki
tukang nguyup getih jurit
tukang ngakan bayah perang
geura datang raja cidra
geura datang sato jalma
papagkeun aing ku tumbak
jajapkeun ka tungtung duhung
nya hulu aing Citanduy
hate aing Cisadane
nunjang ngulon Ujungkulon
mun saat kakara paragat
Bahwa raja segagah itu kemudian bisa kalah dalam pertempuran maka dikisahkan penyebabnya adalah papatih curang | nu nyamuni di nu suni | anu nyumput di nu singkur. Patih yang curang tersebut tidak berani adu kebal ataupun bertarung berhadapan dan hanya berani menusuk dari belakang.
Setelah episode kematian Sri Baduga, dikisahkan bagaimana akhir kehidupan Putri Citraresmi. Dengan baris-baris yang menimbulkan atmosfer sedih tanpa kehilangan sisi puitis, disebutkan Citraresmi labuh pati. Tubuhnya moksa diantar oleh angin semerbak, disambut oleh pelangi: yang tersisa hanya pakaiannya.