Menakar Potensi Biodiesel Sawit di Indonesia sebagai Alternatif Penurunan Emisi Global

Ade Maulana Yusuf, Peserta Advance Training Badko HMI Jawa Barat.
Sumber :
  • Dokpri

Bandung, MindsetKelapa sawit menjadi salah satu komoditi terbesar di Indonesia hingga berpotensi untuk pengembangan industri biodiesel berbasis minyak sawit.

10 Ayat Lingkungan Hidup dan Ancaman Bagi Perusak Lingkungan

Selain motif ekonomi, biodiesel ini juga memiliki dampak lingkungan, karena bisa menjadi sumber energi alternatif yang ramah dan berkelanjutan.

Secara umum, biodiesel berasal dari minyak nabati dan hewani, seperti minyak kelapa sawit, kedelai, kanola, jagung, minyak jarak, dan minyak nyamplung. Sehingga dapat menjadi pengganti solar untuk kendaraan bermesin diesel.

Hari Hutan Internasional 2023, Luas Hutan Meningkat, Kandungan Kayu Menurun

Biodiesel sawit tentunya dapat mensubstitusi penggunaan solar fosil yang merupakan salah satu kontributor utama emisi GRK (Gas Rumah Kaca) di Indonesia.

Mengingat, biodiesel sawit lebih unggul dari petrodiesel dalam hal clean-burning, non-toxicity, renewablity, sustainability and acceptability. Substitusi solar fosil dengan biodiesel sawit akan menurunkan emisi GRK.

Biodiesel Berkontribusi dalam Penurunan Emisi Global

Hari Peduli Sampah Nasional 2023, Momen Meneladani Imam Ghazali

Menukil pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif bahwa biodiesel merupakan salah satu sumber EBT (Energi Baru dan Terbarukan) memiliki peran strategis, terlebih dalam kontribusinya sebagai upaya mengantisipasi perubahan iklim di Indonesia.

Hal ini ditandai pada tahun 2021, biodiesel berhasil menurunkan emisi Gas Rumah Kaca atau GRK hingga 25 juta CO2e di Indonesia.

Kemudian, pemerintah menargetkan peningkatan bauran Energi Baru dan Terbarukan atau EBT menjadi 23 persen pada 2025 dari 11 persen saat ini.

Bersama dengan sektor Forest and Land Use, energi menjadi sektor prioritas pemerintah dalam upaya penurunan emisi GRK.

Pemerintah mencatat kontribusi sektor energi terhadap emisi GRK mencapai 36 persen, begitupun mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biodiesel menyumbang 4,1 persen dari total 11,7 persen bauran EBT nasional.

Jika diruntut sebelumnya, pengurangan emisi GRK meningkat dari hanya sekitar 592.3 ribu ton CO2 eq tahun 2010 meningkat menjadi 22.3 juta ton CO2 eq tahun 2020 atau peningkatannya sebesar 400 kali lipat selama periode tahun tersebut.

Penghematan emisi GRK dari mandatori biodiesel tersebut berkontribusi penting bagi pencapaian Paris Agreement.

Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) bahwa pada tahun 2030, target penurunan emisi GRK Indonesia mencapai 29 persen dengan inisiatif sendiri dan 41 persen dengan dukungan kerjasama internasional.

Untuk mencapai target NDC tersebut, pengurangan emisi GRK dari sektor energi dan transportasi tahun 2020 ditargetkan sebesar 0.038 Giga Ton CO2 eq.

Dengan mandatori biodiesel B30 tahun 2020 mampu mengurangi emisi sekitar 59 persen dari target sektor energi dan transportasi. Implikasinya, biodiesel sawit telah membantu Indonesia untuk mencapai target NDC.

Kritik Pengembangan Biodiesel di Indonesia

Kendati data di atas, biodiesel bukan hanya dapat menggantikan bahan bakar fosil, melainkan juga memberikan manfaat ekonomi signifikan, terutama bagi petani sawit lokal.

Kenaikan permintaan biodiesel diproyeksikan akan mendorong harga tandan buah segar (TBS) sawit, meningkatkan kesejahteraan petani.

Mengingat, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang dibudidayakan di seluruh dunia. Menurut total proyeksi produksi CPO global, jumlahnya mencapai 77.215.000 metrik ton pada periode 2022/2023 ini.

Berdasarkan data publikasi Badan Pusat Statistik terbarunya yang berjudul Statistik Indonesia 2023 melaporkan, data dari Kementerian Pertanian (Direktorat Jenderal Perkebunan) bahwa jumlah produksi karet di Indonesia mencapai 45,5 juta ton. Jumlah ini membuat Indonesia keluar sebagai negara pemroduksi kelapa sawit terbesar di dunia.

Namun di sisi lain, pada faktanya pengembangan biodiesel sawit kontradiktif dengan upaya penurunan emisi di Indonesia.

Sebut saja ketika kurang lebih pertumbuhan kendaraan hingga 6 persen per tahun, maka produksi biodiesel meningkat hingga 50 persen dalam kurun waktu tiga tahun ke belakang.

Peningkatan produksi ini akan berdampak terhadap pembukaan lahan bagi tanaman yang menjadi bahan dasar biodiesel.

Mengacu pendapat Aryo Bhawono seorang pengamat lingkungan dalam kolomnya berjudul 'Ironi Biofuel Indonesia: Energi Minim Karbon Biang Deforestasi', bahwa pembukaan perkebunan kelapa sawit diperkirakan membutuhkan lahan sebesar 1,2 juta hektare, atau hampir seperempat dari total lahan perkebunan sawit di Indonesia.

Hal ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan pemerintah bahwa semua bahan bakar diesel harus mengandung campuran ini setidaknya 30 persen, yang memungkinkan porsinya akan naik menjadi 50 persen pada 2025.

Tentunya kebijakan ini mengarah pada tujuan untuk menekan polusi karbon di sektor transportasi yang selama ini menyumbang 13,6 persen dari total emisi di Indonesia, dan 45 persen dari total penggunaan energi, yang secara khusus dapat mengurangi emisi transportasi sebanyak 36 juta ton CO2 pada 2040.

Padahal hutan adalah salah satu sistem yang paling efektif untuk menyerap CO2 dari atmosfer, jauh dibandingkan tanaman untuk biofuel.

Mengganti hutan dengan hamparan tanaman sawit membuat justru kian meminimalisir penyerapan karbon dan meningkatkan efek gas rumah kaca, yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Artinya perambahan hutan baru untuk mengembangkan perkebunan sawit akan menghasilkan emisi untuk setiap unit energi. Emisi ini jauh lebih banyak dibandingkan emisi solar.

Rekomendasi Strategi Pengembangan Kebijakan Biodiesel Sawit di Indonesia

Strategi pengembangan kebijakan biodiesel sawit di Indonesia telah mendapat rekomendasi untuk tahun 2020-2045, dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI melalui Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Inovasi.

Pertama, dari evaluasi pelaksanaan kebijakan B10, B20, dan B30 ditentukan dari kontribusi bauran energi yang dihasilkan dan besaran biaya yang ditetapkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Hasil evaluasi ini dapat digunakan sebagai bukti dalam penetapan rencana kebijakan B40 dan B50 di masa mendatang.

Kedua, perlu merumuskan beberapa kebijakan dalam merancang Kilang Green Fuel untuk mengolah minyak sawit menjadi green energy tersebut.

Selain itu, potensi biodiesel dari sawit ini diperlukan juga untuk mendorong penelitian bibit unggul minyak pangan, minyak nyamplung, minyak kemiri sunan, dan lain lain. 

Ketiga, para pemangku kepentingan secara bersama dapat menciptakan inovasi green fuel buatan dalam negeri. Saat ini pemerintah melakukan pembuatan perkebunan energi dan pengembangan teknologi green fuel, sehingga dapat berjalan beriringan, yang kemudian ekosistem inovasi energi biodiesel dapat terbentuk.

Kendati demikian, masih banyak tantangan untuk pengembangan biodiesel sawit di Indonesia, terutama soal deforestasi.

Persoalan ini menjadi sebuah ukuran bagi pemerintah era Prabowo-Gibran agar cita-cita menurunkan emisi di tahun 2030 tidak silang sengkarut yang justru malah menimbulkan dampak GRK yang lebih besar. *AM

 

*) Oleh : Ade Maulana Yusuf, Peserta Advance Training Badko HMI Jawa Barat 2025

*) Rubrik OPINI MindsetVIVA terbuka untuk mayarakat umum. Panjang naskah opini minimal 300 kata. Lampirkan riwayat hidup singkat beserta foto diri (pembuat opini) dan nomor telepon/whatsapp yang bisa dihubungi oleh redaksi.

*) Naskah Opini dikirim ke alamat e-mail: mindsetmedia3@gmail.com