Hardiknas, Pendidikan, dan Persoalan Kehidupan

Belajar di Alam
Sumber :
  • Pixabay / sasint

MindsetHari Pendidikan Nasional atau biasa disebut Hardiknas dirayakan tiap tanggal 2 Mei. Tanggal tersebut merupakan tanggal lahir tokoh pendidikan Indonesia Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara

Azza Aprisaufa dan Solusi Kerja untuk Sarjana Masa Kini

Dari Ki Hajar Dewantara kita mendapatkan slogan kementerian pendidikan yang sejak 2021 namanya berganti Kemendikbudristek, Tut Wuri Handayani

Akan tetapi mengapa Hari Pendidikan dan bukan Hari Pengajaran? Sebagian pihak membedakan antara pendidikan dengan pengajaran. Jika yang pertama terkait otak, yang kedua terkait sikap. 

LIN Kritisi Kebijakan Pemkab Ciamis dalam Mengatasi Tingginya Pengangguran Terbuka Kalangan Pemuda

Menengok sejarah, jabatan yang pernah dipegang oleh Ki Hajar Dewantara sendiri adalah Menteri Pengajaran Indonesia, bukan Menteri Pendidikan Indonesia. Beliau menjabat pada tahun 1945. 

Baru pada tahun 1947 jabatan tersebut diganti namanya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Perubahan tersebut mengikuti perubahan nomenklatur kementerian yang menangani pendidikan yang berubah dari Departemen Pengajaran menjadi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 

Tragedi Mei 1998 dalam Puisi Rendra, Akal Sehat Kalah oleh Pikiran Kalap

Uniknya, nomenklatur tersebut sempat kembali berubah menjadi Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada tahun 1955-1956. 

Bisa jadi diksi pengajaran tidak lagi dimasukkan sampai sekarang karena makna kata tersebut pada dasarnya sudah tercakup dalam diksi kebudayaan yang dipakai dalam nomenklatur.

Perlu dicatat juga bahwa dalam kebijakan Mendikbudristek periode sekarang, Nadiem Makarim, masih tercakup adanya aspek penguatan pendidikan karakter

Pendidikan dan Pekerjaan

Siswa dan Alam

Photo :
  • Pixabay / sasint

Terlepas dari apakah dalam praktik pendidikan kita kini memberi perhatian seimbang terhadap pendidikan dan pengajaran atau lebih menitikberatkan pada aspek pendidikan, satu hal yang juga selalu menjadi perdebatan terkait sistem pendidikan adalah output.

Kritik biasa diarahkan ketika output pendidikan diarahkan pada lapangan pekerjaan. Dengan kata lain, pendidikan berorientasi pasar sehingga berpotensi mengabaikan aspek literasi di luar kebutuhan pasar.

Jika murni demikian, maka pendidikan tidak ada bedanya dengan kursus keahlian. Selain itu, konsekuensi lainnya jika berkaca pada ketersediaan lapangan pekerjaan di Indonesia, orientasi semacam itu bersifat kota-sentris. 

Mengapa demikian? Karena ketersediaan lapangan pekerjaan yang keahliannya mungkin dipersiapkan di sekolah ada di kota. Kita masih sukar membayangkan sekolah secara umum menyiapkan siswa untuk menjadi petani, misalnya. 

Dengan kata lain, sekolah menjadi ajang penyiapan karyawan-karyawan atau tenaga kerja yang diserap lapangan pekerjaan di perkotaan. Pertanyaannya, salahkah orientasi semacam itu?

Banyaknya kisah bahwa siswa berprestasi di sekolah kalah bersaing dalam kesuksesan bekerja dibanding siswa yang selama sekolah mendapatkan skor paling bawah jelas menunjukkan adanya masalah jika pendidikan dilepaskan sepenuhnya dari orientasi pekerjaan. 

Artinya, pada akhirnya manusia memang harus membiayai hidup dan bekerja menjadi karyawan bisa menjadi salah satu pilihan. Dan tepat di situlah persoalannya: menjadi karyawan adalah salah satu pilihan, bukan satu-satunya pilihan. 

Dengan kata lain, kebijakan pendidikan akan lebih sesuai jika diarahkan untuk menyiapkan siswa menghadapi tantangan beragam pilihan lapangan kerja, termasuk kreativitas menciptakan sendiri lapangan pekerjaan.

Selain itu, penyesuaian dengan situasi di tempat siswa mendapatkan pendidikan juga penting. Artinya, jika sekolah berlokasi di desa, maka output pendidikan terkait aspek pekerjaan atau penghidupan bukan menawarkan pesona pekerjaan di kota melainkan bagaimana mengembangkan pekerjaan di desa. 

Hambatan untuk ideal semacam itu sudah jelas: dibutuhkan guru-guru terampil sesuai lokasi mereka mengajar dan bahan ajar yang cocok.

Kebijakan pendidikan tidak bersifat sentralistik tetapi semi otonom, artinya mengikuti kebijakan umum dari pusat tetapi dengan penyesuaian pada masing-masing daerah.

Situasi semacam itu tentu terdengar humanis, tetapi tidak bisa kita  bantah juga utopis jika melihat situasi pendidikan nasional kita kini.

Akan tetapi tidak ada salahnya di momen Hardiknas 2023 kita merenungkan langkah-langkah menuju ke sana, setidaknya jika kita tidak ingin anak-anak kita menghabiskan usia panjang di sekolah kemudian gagal menghidupi dirinya kelak, atau sukses menjadi karyawan di kota tetapi terasing di tanah sendiri.

Penutup, kita juga bisa merenungkan baris-baris puisi penyair legendaris kita WS Rendra berikut ini:

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing

di tengah kenyataan persoalannya ?

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya mendorong seseorang

menjadi layang-layang di ibukota

kikuk pulang ke daerahnya ?

Apakah gunanya seseorang

belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,

atau apa saja,

bila pada akhirnya,

ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :

"Di sini aku merasa asing dan sepi !"