Childfree, Salahkah Gita Savitri? Benarkah Taliban yang melarang Alat Kontrasepsi?
- Pixabay / sasint
Mindset –Gita Savitri menjadi trending di Twitter karena pernyataannya tentang childfree. Pro kontra bermunculan baik menyoroti relasi antara childfree dengan awet muda, fitrah perempuan dan pernikahan untuk memiliki anak, sampai perdebatan hukum childfree haram atau boleh.
Tentu saja ini tidak ada hubungan sebab akibat: satu pekan lebih setelah keramaian Gitasav, Taliban melarang penggunaan alat kontrasepsi di 2 kota utama Afganistan. Alasan mereka, penggunaan alat kontrasepsi adalah bagian dari konspirasi Barat untuk mengontrol populasi Muslim.
Kita mungkin heran 2 abad lebih setelah Malthus menyodorkan apa yang kemudian disebut Malthusianisme, masih ada pihak-pihak yang menyeret persoalan populasi pada teori konspirasi.
Malthusianisme mengatakan bahwa pertumbuhan populasi berlangsung dalam deret geometri sementara pertumbuhan produksi pangan berlangsung dalam deret aritmatika. Dengan kata lain, tanpa upaya preventif menyikapi pertumbuhan populasi atau produksi pangan, bahaya kelaparan mengancam.
Ada banyak upaya memang yang diarahkan untuk mengontrol pertumbuhan populasi ataupun produksi pangan. Penggunaan alat kontrasepsi, atau program KB di Indonesia merupakan contoh upaya meredam pertumbuhan populasi.
Pengembangan bibit unggul yang bisa mempercepat masa panen merupakan contoh upaya meningkatkan produksi pangan. Pertanyaannya kemudian, apakah keberhasilan di salah satu upaya tersebut memungkinkan penghentian upaya di sisi lain?
Sederhananya, apakah keberhasilan mengontrol produksi pangan melegitimasi penghentian upaya kontrol pertumbuhan populasi?
Berbicara tentang populasi, kita bukan hanya berbicara tentang pangan, melainkan juga tentang kebutuhan primer lain dan kesejahteraan manusia secara umum. Andaikan produksi pangan dunia bisa mengimbangi ledakan penduduk, apakah ledakan tersebut bisa diimbangi pula oleh ketersediaan tempat tinggal yang memadai?
Pangan bisa diproduksi, tetapi tanah tidak berkembang menjadi lebih luas. Fakta bahwa masih ada wilayah tertentu yang penduduknya belum padat bukan legitimasi bagi penduduk di daerah tersebut untuk beranak sebanyak mungkin, melainkan sekadar bukti penyebaran manusia belum merata.
Sebagaimana tidak meratanya penyebaran manusia, demikian juga tingkat kesejahteraan. Pada akhirnya, wacana childfree merupakan opsi yang tidak bisa digeneralisasi hukum haram, tetapi dikembalikan pada tingkat kesejahteraan dan kemampuan individu. Keinginan melakukan childfree juga secara logika bisa menyiratkan kesadaran akan tingkat kesejahteraan yang rendah.
Demikian juga upaya pengendalian populasi seperti penggunaan alat kontrasepsi. Menghakiminya sebagai bagian dari teori konspirasi Barat hanya sikap egois usang yang menutup mata terhadap situasi dunia global.
Laporan PBB menyatakan populasi global manusia mencapai 8.0 miliar pada pertengahan November 2022. Jumlah itu berarti kenaikan sebesar 1 miliar orang sejak 2010 dan 2 miliar sejak 1998.
Pertambahan populasi itu disebutkan melambat secara global, tetapi fakta lain yang harus diperhatikan adalah bahwa negara-negara yang memiliki tingkat kesuburan paling tinggi cenderung negara-negara yang memiliki pendapatan per kapita paling rendah.
Dengan kata lain, ada indikasi bahwa negara-negara tempat kesejahteraan penduduknya rendah justru tingkat pertumbuhan populasinya tinggi. Ada banyak analisis bisa dikedepankan terkait sebabnya, tetapi secara sederhana kita bisa mengatakan tingkat kesadaran individu dan tingkat upaya pemerintah terkait pengendalian populasi cenderung berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan.
Baca Juga
- Benarkah Childfree Haram? Benarkah Islam Mewajibkan Banyak Anak?
- Resesi Seks Salah Satu Sebabnya Kecanduan Film Porno, Kok Bisa?
Kemungkinan ini tentu tampak ironis, karena tingkat kesejahteraan yang rendah justru membutuhkan kontrol populasi yang lebih ketat. Dari fakta di atas juga kita bisa melihat bahwa meski di satu sisi keinginan untuk childfree mungkin menyiratkan kesadaran akan tingkat kesejahteraan rendah tetapi di sisi lain pengadopsian konsep itu juga membutuhkan tingkat kecerdasan yang tinggi.
Artinya, di sebuah negara yang memiliki tingkat kesejahteraan rendah, tingkat edukasi penduduknya pun sangat mungkin rendah. Karena itulah edukasi terkait kontrol populasi tidak banyak mendapatkan dukungan karena pola pikir yang juga terbelakang selain mungkin juga kurangnya sarana yang mendukung praktik tersebut.
Jadi, salahkah Gitasav? Benarkah Taliban?
Kita tidak bisa menyalahkan Gitasav jika dia memandang memiliki anak merupakan beban, hal tersebut merupakan pilihan dia sebagai individu.
Sementara kita juga sukar untuk membenarkan pemerintahan yang mengabaikan fakta rendahnya kesejahteraan penduduk dengan malah mendorong penduduk memperbanyak anak sambil melemparkan kambing hitam pada konspirasi Barat.