Krisis Mahasiswa dan Menara Gading Kampus

Fahmi G Priono, Pegiat Politik dan Demokrasi.
Sumber :
  • MindsetVIVA

Melihat situasi seperti ini, kekuasaan memilih untuk acuh tak acuh, karena kekuasaan menyadari bahwa musuh terbesar mereka adalah mahasiswa sebagai kaum muda yang berpendidikan. Oleh karena itu, rezim pendidikan secara sistematis berusaha melemahkan mahasiswa dan kaum muda.

Salah satu contoh konkret dari upaya pelemahan tersebut adalah melalui sistem pendidikan. Misalnya, dalam ujian, kita sering dihadapkan pada metode jawaban pilihan ganda yang telah disediakan atau metode pencocokan yang bersifat dogmatis.

Jikalaupun terdapat pertanyaan berbentuk essay, kebenaran jawabannya berada pada otoritas guru/dosen, bukan pada argumentasi siswa/mahasiswa itu sendiri, sedangkan daya kritis pemuda lahir melalui proses persilangan argumentasi dan analisis dialektis.

Dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa kebijakan pemerintah telah memberikan dampak yang signifikan terhadap dunia pendidikan, terutama dalam hal keterlibatan mereka dalam proses seleksi rektor di sebagian besar universitas negeri.

Pemerintah, dengan kebijakan-kebijakan ini, sedang mengubah pendidikan menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan, bukan lagi sebagai hak yang dijamin oleh konstitusi bagi setiap warga negara.

Pasar sekarang mengendalikan ruang-ruang kelas, di mana akses pendidikan hanya bisa diperoleh oleh mereka yang memiliki keuangan yang cukup. Sehingga, kehadiran dalam ruang kelas tidak lagi ditentukan oleh pertimbangan kemanusiaan, tetapi lebih dipengaruhi oleh persaingan.

Kampus Menjadi Menara Gading 

Ilustrasi kegiatan mahasiswa di kampus.

Photo :
  • Freepik.com

Kampus-kampus menjadi seperti Menara Gading, memisahkan kaum intelektual dari rakyat biasa. Hal ini terjadi melalui berbagai kebijakan kampus yang bertujuan untuk merekonstruksi pola pikir mahasiswa.

Sayangnya, banyak dari kegiatan yang diwajibkan kepada mahasiswa hanya berorientasi pada keuntungan dan seremonial semata, bukan pada pembangunan karakter dan nilai-nilai yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti yang seharusnya menjadi tujuan dari Tridharma perguruan tinggi.

Semangat kemanusiaan bukan lagi menjadi fokus perjuangan intelektual mahasiswa saat ini. Akibatnya, mahasiswa lebih mudah diprovokasi dan dipolarisasi berdasarkan isu-isu perbedaan golongan, identitas, suku, ras, agama, dan hal-hal yang sebenarnya tidak relevan.