Ujaran Kebencian, Hasutan, dan Media Sosial

Ilustrasi Media Sosial
Sumber :
  • Unsplash @ademay

Mindset –Dilansir oleh Viva.co.id, Jumat (16/12/2022), Meta Platforms sebagai pemilik Facebook digugat oleh sekelompok peneliti Ethiopia dan aktivis HAM Kenya. Tuduhan tersebut bahwa Facebook telah melakukan penyebaran ujaran kebencian. Selain itu juga tuduhan atas penyebaran hasutan untuk melakukan kekerasan. 

Fenomena tersebut dan juga daftar berbagai fenomena serupa yang pernah terjadi baik di luar negeri maupun di negeri kita pada dasarnya menunjukkan bahwa ujaran kebencian (hate speech) dan hasutan (provocation) memang bisa dikatakan memiliki kedekatan dengan media sosial. Kedekatan tersebut terutama disebabkan karakteristik media sosial

Sebagai media daring, media sosial merupakan salah satu tempat berbagi informasi dan berjejaring. Dari kecocokan saling berbagi itu terjalin hubungan pertemanan dan dari hubungan pertemanan yang bersifat maya itu terbentuk komunitas-komunitas secara alami dan tanpa jajaran struktural resmi. Karena dorongan untuk bergabung dalam komunitas itu berasal dari dalam diri dan bukan karena dorongan formal dari luar, ikatan antar teman atau anggota komunitas cenderung sangat kuat meski bisa saja dalam kehidupan di luar media sosial satu sama lain tidak saling mengenal.  

Melalui jaringan antar anggota komunitas, media sosial bisa menjadi sarana untuk menyebarkan isu dengan saringan subjektif. Artinya, masing-masing anggota komunitas sejak awal sudah mengetahui basis ideologis dan psikologis komunitas mereka. Ketika mereka memilih isu untuk dibagikan di media sosial, mereka akan melakukan penyaringan berdasarkan basis-basis tersebut. 

Oleh sebab itu, meski media sosial bukan pengganti resmi media massa dan hanya menyebarkan berita yang sudah diberitakan di media massa resmi, dalam praktiknya pemilihan berita yang disebarkan sudah disesuaikan dengan basis ideologis dan psikologis komunitas. Dengan kata lain, berlaku prinsip hanya mendengar apa yang ingin didengar

Maka bisa dikatakan bahwa meski media sosial merupakan satu wadah kebebasan berbicara, pada dasarnya individu-individu pengguna media sosial menciptakan batasan pembicaraan sendiri-sendiri. Dari sudut pandang individu-individu seperti itu, berita yang pada akhirnya hanya mereka akses melalui media sosial kemudian menjadi tunggal. 

Risikonya, karena ketunggalan yang lebih buruk lagi dipilih secara subjektif, situasi tersebut membentuk tolok ukur fakta yang lebih rendah di kalangan pengguna media sosial daripada di kalangan para pembaca media massa. Artinya, kesadaran bahwa isu-isu yang mereka akses melalui media sosial memiliki nilai subjektif tinggi dikalahkan oleh anggapan baru bahwa media sosial murni menyajikan fakta. Dalam situasi seperti itu, media sosial yang cenderung subjektif kemudian menggantikan posisi media massa resmi yang sampai tataran tertentu bisa dikatakan objektif.