Ai Nurhidayat Penggagas Sekolah Multikultural, Penjaga Toleransi Keberagaman dari Pangandaran

Ai Nurhidayat Penggagas Sekolah Multikultural dari Pangandaran.
Sumber :
  • Instagram/AiNurhidayatMars

Pangandaran, Mindset – Ai Nurhidayat merupakan sosok pemuda kelahiran asli Pangandaran, Jawa Barat, yang telah menorehkan jejak cemerlang dalam memajukan pendidikan multikultural di tanah kelahirannya.

Setelah menyelesaikan studinya di Universitas Paramadina, Jakarta, Kang Ai, begitu ia akrab disapa, memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dan mewujudkan cita-citanya mendirikan sebuah sekolah.

Awalnya, ia membentuk sebuah komunitas literasi yang diberi nama Komunitas Belajar Sabalad. Di malam hari, anggota komunitas ini, terdiri dari pemuda-pemuda sekitar Pangandaran, berkumpul di rumah Kang Ai untuk berdiskusi dan berbagi pengetahuan hingga larut malam.

Dari interaksi ini, muncullah Komunitas Belajar Sabalad dengan moto unik, "Mencari ilmu selama-lamanya, mencari kawan sebanyak-banyaknya." 

Kang Ai tidak hanya mengadakan program literasi, tetapi juga kegiatan produktif lain seperti berkebun, beternak, dan memproduksi pupuk kandang, pakan domba, bahkan madu murni.

Komunitas ini terus berkembang, mayoritas anggotanya adalah pemuda setempat. Setiap hari, Kang Ai dengan penuh semangat mengelola komunitasnya.

Awal Mula Sekolah Multikultural SMK Bhakti Karya Parigi 

Pada tahun 2012, berdirilah SMK Bakti Karya Parigi. Awalnya, sekolah ini hanya beroperasi di gudang kelapa tanpa bangunan permanen. Jumlah muridnya pun terbatas, bahkan sekolah ini hampir gulung tikar.

Melihat situasi tersebut, Kang Ai berdiskusi dengan anggota komunitasnya untuk mencari solusi agar sekolah ini dapat bertahan.

Akhirnya, Kang Ai memutuskan untuk mengintegrasikan Komunitas Sabalad ke dalam struktur SMK Bakti Karya Parigi. Dengan langkah ini, jumlah siswa SMK Bakti Karya Parigi meningkat menjadi 15 orang.

Berkat inovasi Kang Ai, SMK Bakti Karya Parigi kembali beroperasi pada tahun 2013, di bawah naungan yayasan yang dipimpinnya. Meskipun tinggal di Pangandaran, tepatnya di Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, Kang Ai menyaksikan realitas etnosentrisme di sekitarnya.

Ia menyadari adanya ketidaktoleran terhadap perbedaan di antara masyarakat sekitar. Pada awal tahun 2013, Kang Ai dan beberapa anggota komunitasnya berdiskusi santai mengenai masalah ini.

Ide untuk membawa murid dari luar daerah muncul secara tak terduga. Meskipun ini dianggap ide gila, Kang Ai mengembangkannya.

Perbedaan Keyakinan Peserta Didik Sekolah Multikultural Sempat Jadi Kontroversi 

Kelas profesi di sekolah multikultural SMK Bhakti Karya Parigi.

Photo :
  • Instagram/AiNurhidayatMars

Namun, adanya murid-murid dari luar daerah, terutama yang berbeda agama, menimbulkan kontroversi di masyarakat. Hal ini terjadi karena minimnya pemahaman tentang multikulturalisme dan toleransi. Inilah saatnya Kang Ai turun tangan memberikan pemahaman kepada masyarakat.

Pada tahun 2014, Kang Ai bahkan terpaksa menghadapi sidang di Kantor Bupati Pangandaran terkait isu pembangunan gereja dan perpindahan agama. Walaupun dihadapkan pada situasi yang penuh tekanan dan intoleransi, Kang Ai tetap berusaha menjelaskan visi dan misinya.

Meskipun tidak semua masalah terselesaikan dalam sidang tersebut, Kang Ai tetap teguh pada pendiriannya. Ia percaya bahwa dalam membangun pendidikan, seseorang harus memiliki keteguhan dan tekad yang kuat.

Berkat perjuangannya, SMK Bakti Karya Parigi berhasil menjalankan program kelas multikultural. Ai Nurhidayat kini bangga dapat membawa murid-murid dari berbagai penjuru daerah.

Ai Nurhidayat Raih Penghargaan SATU Indonesia Awards Atas Kiprahnya Menjaga Toleransi Multikultural 

Atas kiprahnya dalam menjaga toleransi multikultural Ai Nurhidayat dianugerahi penghargaan SATU Indonesia Award di bidang pendidikan pada tahun 2019.

Selama delapan tahun, kelas multikultural ini telah berjalan, membuat SMK Bakti Karya Parigi menjadi sekolah yang memberikan beasiswa penuh dan mendapat apresiasi luas dari masyarakat.

Ai Nurhidayat adalah pahlawan masa kini yang telah membuktikan bahwa pendidikan multikultural dapat menjadi kenyataan, bahkan di tengah tantangan dan kontroversi. Dedikasinya terhadap toleransi dan inklusivitas telah membawa dampak positif yang tak terbantahkan bagi masyarakat Pangandaran.