Kisah Isra Mi’raj dalam Bentuk Puisi di Tatar Sunda Ciamis
- Tokopedia
Mindset –Isra Mikraj Nabi Muhammad saw diperingati setiap tanggal 27 Bulan Rajab. Tahun 2023 ini tanggal tersebut bersesuaian dengan tanggal 18 Februari. Pada tanggal tersebut, umat Islam di seluruh dunia akan memperingati peristiwa Isra Mi’raj dengan beragam cara sesuai dengan kultur masing-masing lokasi.
Di tatar Sunda, khususnya wilayah Ciamis, peristiwa ajaib Isra Mi’raj juga diperingati dengan semarak. Biasa acara peringatan tersebut dipimpin oleh pesantren-pesantren yang memang tersebar di seluruh wilayah Ciamis.
Peristiwa Isra Mi’raj bukan merupakan peristiwa yang asing bagi masyarakat Tatar Sunda, khususnya Kabupaten Ciamis. Betapa tidak, sejak kecil masyarakat Ciamis sudah dikenalkan dengan peristiwa tersebut melalui sarana seni. Sarana yang dimaksud adalah syi’iran.
Dalam bahasa Sunda, syi’iran biasa disebut juga pupujian atau nadoman. Genre puisi khas pesantren ini tampaknya dipengaruhi oleh pola perpuisian berbahasa Arab. Hal tersebut terbukti dengan adanya pola Ilmu Arudh atau prosodi bahasa Arab dalam nadoman atau puisi-puisi berbahasa Sunda tersebut.
Nadoman yang mengisahkan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw sudah beredar sejak zaman dulu dan tidak tercantum siapa penulisnya. Nadoman ditulis dengan aksara pegon dalam bahasa Sunda sepanjang 310 bait. Berhubung 1 bait tersusun dalam dua baris sebagaimana puisi klasik Arab, maka bisa dikatakan jumlah total barisnya 310 x 2 = 620 baris.
Berikut baris pembuka nadoman tersebut:
Puji syukur ka Allah nu ngaisrakeun
Ka Nabi Muhammad sareng ngami’rojkeun
Anu ngandung hikmat kanggo percobian
Ka manusa rek kufur atawa iman
(Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah swt yang telah mengisrakan
Dan memi’rajkan Nabi Muhammad saw
Yang mengandung hikmah dan ujian
Bagi manusia apakah mereka akan kufur ataukah beriman)
Nadoman atau pupujian berbahasa Sunda tersebut sering terdengar dikumandangkan oleh anak-anak di masjid menjelang berjemaah salat. Biasanya hal tersebut dilakukan terutama pada Bulan Rajab dan menjadi bagian dari tradisi rajaban di tatar Sunda. Karena sering dikumandangkan tersebut maka tidak heran jika tanpa sadar orang-orang menjadi hafal kisah Isra Mikraj yang disajikan dalam bentuk puisi tersebut.
Maka bisa dikatakan bahwa nadoman atau pupujian berbahasa Sunda memang merupakan sarana dakwah yang ramah kultur. Dengan dakwah menggunakan media seni seperti itu maka tradisi Islam bisa menyatu dengan tradisi Sunda secara damai. Selain itu, bentuk puisi juga membuat isi kandungan dakwah lebih mudah merasuk ke dalam hati.
Jika ditinjau menggunakan Ilmu Arud maka bisa dikatakan nadoman Isra Mikraj berbahasa Sunda ini menggunakan bahr Rajaz. Hal tersebut dibuktikan dengan penggunaan wazan (ritme) berupa pengulangan taf’ilah mustaf’ilun sebanyak enam kali.
Selain itu, pada baris ke-10 nadoman juga memang disebutkan:
Nganggo bahar Rajaz dinadomkeunana
Mustaf’ilun genep balik dibacana
(Dinadomkan dengan menggunakan bahr Rajaz
Berupa mustaf’ilun yang dibaca sebanyak enam kali)
Sementara itu, kisah Isra Mi’raj dalam bentuk puisi berbahasa Sunda ini juga mencantumkan sumber rujukan berupa kitab klasik. Meski sebagaimana dijelaskan dalam baris ke-7, versi puisi ini tidak memuat keseluruhan isi kitab tersebut:
Dupi nami kitab pangalapannana
Kitab dardir ngan henteu sapuratina
(Adapun nama kitab sumber rujukan
Adalah kitab Dardir tetapi tidak seutuhnya)
Kitab Dardir Mi’raj memang merupakan kitab terkenal untuk rujukan kisah Isra Mi’raj di kalangan pesantren-pesantren di Indonesia. Kitab tersebut karangan Syekh Ahmad Dardir, nama lengkapnya Imam Abul Barakat Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad al-Adawi al-Maliki al-Khalwati. Adapun kitab Dardir sendiri merupakan syarah atau penjelas Kitab Qishshotul Mi’raj karya Imam Najmuddin al-Ghaiti.