Tingkat Kesopanan Warganet dan Iklim Demokrasi Kita
- MindsetVIVA
Opini, Mindset – Minggu-minggu ini saya sedang membaca sebuah buku menarik bertajuk Virus Of The Mind. Karya ini buah pemikiran seorang Programer perusahaan raksasa Microsoft, Richard Brodie. Buku ini adalah buku kedua Brodie setelah Getting Past Ok.
Sepanjang membaca buku Virus Of The Mind, saya dengan seksama menyaksikan Brodie membincangkan tema mengenai memetika. Sebuah ilmu baru perpaduan biologi evolusioner, psikologi, ilmu kognitif dan ilmu politik.
Brodie mengatakan bahwa pemikiran manusia tidak selalu diisi oleh gagasan dirinya sendiri. Pikiran manusia sering kali disusupi oleh berbagai gagasan lewat meme yang mengarahkan manusia pada kecenderungan dan tindakan tertentu. Brodie menyebut meme dengan istilah virus akal budi.
Cara kerja virus akal budi adalah mengambil alih kedaulatan pikiran, mengalihkan perhatian manusia dan mengontrol tindakan manusia. Manusia yang seluruh pikirannya ada dalam kendali virus, secara sukarela akan menularkan virus-virus tersebut kepada orang lain.
Apalagi perkembanganbiakan virus akal budi semakin cepat dengan hadirnya media sosial.
Iklim Demokrasi Akibat Etika Digital Warganet
Penduduk Indonesia pada Januari 2023 mencapai 276,4 juta jiwa. Dari jumlah tersebut diantaranya merupakan pengguna aktif media sosial dengan berbagai platform. Seperti Facebook yang memiliki 119,9 juta akun dan Twitter sebanyak 24,00 juta akun.
Sedangkan Instagram memiliki 89,15 juta akun, TikTok 109,9 juta akun di atas 18 tahun dan Snapchat pada tahun 2023 memiliki akun sebanyak 3,55 juta. Ditambah lagi platform media sosial lain. Artinya, media sosial menjadi ruang publik baru bagi penduduk Indonesia beraktivitas.
Sayangnya, etika warganet di indonesia menempati peringkat terendah se Asia Tenggara. Hal ini sebagaimana dirilis oleh Digital Civility Index (DCI). DCI mengukur indeks kesopanan digital seluruh pengguna internet di dunia saat melakukan aktifitas di internet.
Faktor yang mempengaruhi buruknya kesopanan digital warganet Indonesia saat beraktifitas di media sosial ada tiga. Pertama adalah hoax dan penipuan. Kedua, ujaran kebencian. Ketiga diskriminasi.
Melihat tingkat kesopanan warganet Indonesia, kekhawatiran muncul akan lahirnya iklim buruk demokrasi di media sosial menjelang pemilu 2024.
Media sosial sering kali menjadi senjata para elit politik. Terutama pendukung fanatik calon tertentu untuk menyerang calon lain. Meme yang mengandung berita hoaks, ujaran kebencian dan diskriminasi sebagai pelurunya.
Hal ini bertujuan untuk merebut suara sebagian besar populasi yang ada. Mengingat sebanyak 153,7 juta pengguna media sosial berusia 18 tahun ke atas yang memiliki hak pilih. Setara 79,5 persen dari total penduduk Indonesia.
Pantas saja kualitas demokrasi Indonesia (6,71) lebih rendah dari negara Asia Tenggara seperti Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06). Economist Intelligence Unit (EIU)
Cara Kerja Meme Mempengaruhi Persepsi Masyarakat di Tahun Politik
Manusia adalah makhluk berakal budi yang membedakan dirinya dengan makhluk lain. Akal budi tersebut menjadi dasar martabat manusia. Akal budi digunakan manusia dalam mempersepsi, mempertimbangkan keputusan dan bertindak. Tindak tanduk manusia sangat dipengaruhi oleh akal budinya.
Cara mempengaruhi tindakan manusia adalah dengan mempengaruhi akal budinya. Inilah tahap pertama meme bekerja, yaitu di tebar di berbagai platform media sosial.
Citra tentang seorang calon bisa diangkat atau dihancurkan. Meme tersebut dibicarakan berulang-ulang, setiap saat, di duplikasi menjadi banyak. Sehingga, secara cepat meme-meme tersebut masuk memenuhi akal budi masyarakat.
Tahap kedua, meme memprogram ulang akal budi manusia. Akal budi manusia di setting, persepsinya diatur sedemikian rupa melalui meme.
Masyarakat yang tadinya suka bisa diubah sehingga menjadi sangat benci. Yang benci semakin benci. Bisa juga yang tadinya benci, di setting persepsinya agar menjadi sangat suka.
Tahap ketiga, seseorang yang sudah dikuasai meme, secara sukarela menyebarkan meme tersebut. Ia ikut andil dalam membangun ulang persepsi masyarakat.
Setelah tahap ketiga berjalan. Masyarakat sangat mudah untuk diarahkan sesuai misi meme. Mereka secara sukarela akan menjadi pemilih fanatik. Ia rela berbenturan dengan orang lain yang memiliki pilihan yang lain.
Pada tahap inilah bom atom yang ditanam melalui meme di berbagai platform, akan meledak. Efek dari ledakan tersebut bukan hanya terasa di dunia maya, melainkan ledakannya terasa di kehidupan sosial bermasyarakat.
Akan terjadi benturan di kehidupan sosial karena meme. Yang satu berkeyakinan meme ini yang benar sedang yang lainnya memiliki keyakinan yang berbeda. Tentu hal ini yang tidak kita inginkan pada pemilu 2024.
Apa yang bisa kita lakukan saat Tahapan Penyelenggaran Pemilu 2024 berjalan?
Menanggapi berita hoaks, ujaran kebencian dan diskriminasi, al-Qur'an memiliki cara tersendiri. Sebagaimana pada Q.S. al-Hujurot ayat: 6,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ.
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. (Q.S. al-Hujurot ayat: 6).
Pertama, teliti kebenaran dari suatu meme. Cari berbagai sumber terpercaya. Dari situ kita bisa menilai informasi yang disebar melalui meme itu benar atau tidak.
Kedua, jangan sampai ketidaktahuan kita akan kebenaran suatu meme membuat kita mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Hal ini berkaitan dengan kebijaksanaan sikap. Kita perlu lebih bijak dalam bersikap. Di awali dengan tidak terlalu benci dan tidak terlalu suka pada calon tertentu.
Kita bisa melihat biografi dari seorang calon. Bisa melihat rekam jejaknya. Kemudian melihat visi misi yang ditawarkannya. Dengan demikian kita menjadi pemilih yang rasional bukan yang emosional.
Solusi ketiga, lakukan aktivitas media sosial dengan kegiatan-kegiatan positif. Misalnya ikut mengkampanyekan pemilu damai atau menshare pengetahuan kepemiluan yang di share penyelenggara pemilu. Kita pun bisa ikut berperan aktif menjadi pengawas partisipatif yang mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu 2024.
*) Oleh Derry Ridwan Maoshul
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Mindset.viva.co.id