6 Mitos tentang Film Porno dan Seksualitas yang Harus Kamu Waspadai
- Unsplash @sodaissue
Mindset –Film porno sudah menjadi sangat mudah diakses pada era internet. Penyebarannya sudah tidak terbendung dan tidak terkontrol.
Jika pada zaman dulu untuk mendapatkan film porno orang masih harus melakukan transaksi pembelian kaset VCD sembunyi-sembunyi dengan kemungkinan mendapatkan VCD palsu maka kini orang tinggal mengaksesnya di berbagai website atau bahkan media sosial.
Selain itu, penyebaran film porno juga didukung oleh berbagai mitos. Mitos-mitos tersebut selain biasa dijadikan dalih pembenaran tindakan menonton video porno, juga merupakan sarana industri film porno untuk meraup keuntungan lebih banyak.
Salah satu sumber menarik terkait pembongkaran mitos-mitos umum tentang film porno adalah buku Matt Fradd berjudul The Porn Myth: Exposing the Reality Behind the Fantasy of Pornography yang terbit pada tahun 2017.
Berikut 6 mitos terkait film porno dan seksualitas kita yang Mindset rangkum dari buku tersebut dan berbagai sumber lain.
1. Korban Kecanduan Film Porno Hanya Pria
Anggapan umum selama ini menyatakan bahwa film porno murni merupakan ranah pria. Film porno dibuat oleh pria, ditonton oleh pria, dan membuat kecanduan kaum pria.
Faktanya, film porno juga ditonton oleh perempuan dan efek rangsangan yang timbul juga sama halnya dengan efek film porno bagi pria, bahkan bisa saja lebih kuat.
Mengapa demikian? Karena ada kecenderungan perempuan lebih imajinatif daripada pria. Pria cenderung hanya menerima tayangan visual apa adanya.
Baca juga
- Yunita Sari, Tersangka Pencabulan Anak di Jambi ternyata Kolektor Foto dan Film Porno
- 4 Efek Nonton Film Porno terhadap Relasi dengan Pasangan
2. Pria yang Tidak Onani itu Tak Sehat
Film porno sangat identik dengan onani dan masturbasi. Mari kita membuat sedikit perbedaan penggunaan istilah. Onani digunakan untuk pria, masturbasi digunakan untuk perempuan.
Anggapan umum selama ini adalah onani itu tindakan yang sehat sebagai upaya pengeluaran yaitu ejakulasi. Ejakulasi melalui onani dipandang sama sehatnya dengan ejakulasi melalui hubungan seksual.
Faktanya, meski sama-sama berujung ejakulasi, efek dari kedua proses tersebut berbeda.
Jika ejakulasi melalui hubungan seksual dipandang sehat maka ejakulasi melalui onani dipandang menimbulkan berbagai efek samping baik psikis maupun psikologis.
3. Film Porno Mencegah Perkosaan & Kekerasan Seksual
Anggapan umum ketiga ini menyodorkan logika yang sekilas tampak benar. Bahwa jika perkosaan terjadi sebagai pelampiasan orang yang ingin melakukan hubungan seksual, maka film porno menyediakan saluran yang lebih aman berupa onani atau masturbasi.
Sayangnya, logika itu menihilkan kemampuan film porno untuk justru menjadi sumber inspirasi penonton untuk melakukan perkosaan. Mungkinkah?
Sangat mungkin, karena jangan lupa tujuan dibuatnya film porno lebih untuk menyediakan tayangan seksual yang tabu, bukan yang sehat dan normal. Genre perkosaan merupakan salah satu genre yang disediakan, selain berbagai genre tabu yang lain termasuk inses.
Selain itu, penelitian juga menunjukkan kalau pria yang suka menonton film porno cenderung memandang rendah perempuan secara moral. Artinya, semua perempuan dipandang akan mau diajak melakukan hubungan seksual oleh pria mana pun.
4. Film Porno tidak Membuat Kecanduan
Ini jelas salah satu mitos yang paling keliru terkait film porno. Mitos ini tentu saja disebarkan oleh pihak-pihak yang mengejar keuntungan dalam industri film porno.
Sebaliknya, fakta menunjukkan bahwa film porno sangat menyebabkan orang kecanduan. Orang yang mengalami kepuasaan seksual melalui onani setelah menonton film porno cenderung merasa puas untuk sementara.
Selanjutnya, dia akan mencari film porno dengan dosis yang lebih tinggi karena film porno yang sebelumnya membuat dia puas setelah beberapa lama tidak lagi memuaskan dia.
Lingkaran setan demikian akan terus berlanjut dengan dosis yang makin lama semakin tinggi.
5. Erotika Adalah Alternatif Sehat Bagi Film Porno
Benarkah? Pernyataan tersebut bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Jika kita memilih dari sudut pandang tujuan penciptaan maka keduanya tidak jauh berbeda.
Meski demikian, tentu saja kita tidak bisa melakukan generalisasi. Ada erotika yang memang disusun untuk memberi tuntunan aktivitas seksual yang sehat.
Akan tetapi ada juga erotika yang disusun sebagai upaya perlawanan terhadap sensor dalam literatur umum. Tipe erotika seperti ini, misalnya The Amorous Exploits of a Young Rakehell karya Guillaume Apollinaire tentu saja beda tipis dengan film porno.
Artinya, erotika seperti itu, sebagaimana film porno, menyediakan makanan untuk fantasi manusia terkait hal-hal tabu dalam hubungan seksual.
Novela Apollinaire yang barusan disinggung menyajikan hubungan seksual inses dan pelukisan aktivitas seksual yang sangat rinci.
6. Hentai Bagus Karena Tidak Melibatkan Pemeran Nyata
Hentai adalah film porno dalam bentuk anime. Istilah itu diturunkan dari bahasa Jepang yang artinya “menyimpang”.
Jika dipandang dari sudut bahwa produksi hentai tidak melibatkan para pemeran yang mungkin saja diperoleh melalui pemaksaan, penculikan, perbudakan, atau perdagangan manusia maka hentai bisa dikatakan berbeda dari film porno umumnya.
Akan tetapi perbedaan hentai dengan film porno hanya itu saja. Aspek-aspek intrinsik yang hentai miliki sebagai produk audio visual sama saja dengan film porno.
Dengan demikian, efek buruk hentai juga pada dasarnya kurang lebih sama dengan efek buruk film porno.