200 Juta Pengguna Mingguan! Mengapa Banyak Orang Malu Mengaku Pakai ChatGPT?

Ilustrasi ChatGPT 4.
Sumber :
  • Unplash

Nusantara, MindsetChatGPT, platform kecerdasan buatan milik OpenAI, kini telah mencapai 200 juta pengguna aktif mingguan, seperti yang dilaporkan oleh Axios. 

Jumlah ini meningkat dua kali lipat sejak November 2023, menunjukkan peningkatan minat dan ketergantungan yang signifikan terhadap alat AI ini. 

Bahkan, OpenAI juga mengungkapkan bahwa 92 persen perusahaan Fortune 500 kini menggunakan produknya, menandakan adopsi AI generatif yang semakin luas di dunia korporasi.

Meskipun angka pengguna yang melonjak ini mencerminkan popularitas ChatGPT, tidak sedikit orang yang enggan mengakui bahwa mereka menggunakan alat ini.

Melansir ArsTechnica, kritik terhadap teknologi AI, seperti yang disampaikan oleh Ed Zitron, seorang konsultan PR dan kritikus vokal OpenAI. Dia menyoroti bahwa AI generatif tidak memiliki utilitas pasar massal yang setara dengan revolusi komputasi awan dan smartphone.

“AI generatif adalah produk tanpa utilitas pasar massal—setidaknya pada skala gerakan revolusioner seperti ledakan komputasi awan dan smartphone,” tulis Zitron dalam blognya pada Juli lalu. 

“Dan itu adalah produk yang membutuhkan biaya luar biasa untuk dibangun dan dioperasikan.”

Namun, di balik skeptisisme ini, penggunaan ChatGPT dan layanan OpenAI lainnya terus mencatatkan rekor. 

Salah satu alasan mengapa banyak pengguna enggan mengakuinya adalah adanya larangan organisasi terhadap penggunaan AI generatif.

Profesor Wharton, Ethan Mollick, yang kerap mengeksplorasi aplikasi baru AI generatif di media sosial, menyoroti masalah ini. “Masalah besar di organisasi: Mereka telah menyusun aturan yang rumit untuk penggunaan AI yang berfokus pada kasus penggunaan negatif,” tulisnya di Twitter.

 “Akibatnya, karyawan takut untuk membicarakan bagaimana mereka menggunakan AI, atau menggunakan LLM korporat. Mereka hanya menjadi ‘cyborg rahasia,’ menggunakan AI mereka sendiri dan tidak berbagi pengetahuan.”

Era Baru Larangan AI 

Ilustrasi OpenAI - ChatGPT Enterprise.

Photo :
  • Unplash - Jonathan

Meskipun sulit untuk mendapatkan data pasti tentang jumlah perusahaan yang menerapkan larangan terhadap AI.

Sebuah studi oleh Cisco yang dirilis pada Januari lalu mengklaim bahwa 27 persen organisasi dalam studi mereka telah melarang penggunaan AI generatif.

Bahkan, ZDNet melaporkan pada Agustus tahun lalu bahwa sebuah studi dari BlackBerry menyebutkan 75 persen bisnis di seluruh dunia sedang “menerapkan atau mempertimbangkan” rencana untuk melarang penggunaan ChatGPT dan aplikasi AI lainnya.

Sebagai contoh, perusahaan induk Ars Technica, Condé Nast, memberlakukan kebijakan larangan AI terkait pembuatan konten publik menggunakan alat AI generatif.

Namun, larangan bukanlah satu-satunya faktor yang membuat orang enggan mengakui penggunaan AI generatif. 

Stigma sosial yang berkembang di sekitar teknologi AI generatif dipicu oleh kekhawatiran kehilangan pekerjaan, dampak lingkungan, masalah privasi, isu hak kekayaan intelektual dan etika, kekhawatiran keamanan, serta ketakutan akan penipuan yang mirip dengan kripto. 

Kewaspadaan umum terhadap Big Tech juga menjadi faktor yang kian meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Apakah stigma ini akan menghilang seiring waktu masih menjadi tanda tanya, namun saat ini, manajemen OpenAI sedang menikmati pencapaian mereka. 

“Orang-orang kini menggunakan alat kami sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, membuat perbedaan nyata di bidang seperti kesehatan dan pendidikan,” ujar CEO OpenAI, Sam Altman, kepada Axios.

“Baik itu untuk membantu tugas rutin, memecahkan masalah sulit, atau membuka kreativitas.”

ChatGPT Bukan Satu-Satunya Pemain di Pasar

Ilustrasi ChatGPT 4.

Photo :
  • Unplash

OpenAI juga mengungkapkan kepada Axios bahwa penggunaan API model bahasa AI mereka telah meningkat dua kali lipat sejak peluncuran GPT-4o mini pada Juli. 

Hal ini menunjukkan bahwa pengembang perangkat lunak semakin banyak mengintegrasikan teknologi model bahasa besar (LLM) OpenAI ke dalam aplikasi mereka.

Namun, OpenAI bukanlah satu-satunya pemain di lapangan. Perusahaan seperti Microsoft (dengan Copilot, yang berbasis pada teknologi OpenAI), Google (dengan Gemini), Meta (dengan Llama), dan Anthropic (Claude). Semuanya bersaing untuk mendapatkan pangsa pasar, sering kali memperbarui API dan asisten AI mereka untuk menarik pengguna baru.

Jika ruang AI generatif adalah gelembung pasar yang siap meledak, seperti yang diklaim beberapa pihak, maka ini adalah gelembung yang sangat besar dan mahal yang tampaknya masih terus membesar dari hari ke hari. *ar/at