Banjir Nuh dalam Puisi Amir Hamzah, Ngeri tapi Indah
- Pixabay / pixundfertig
Mindset –Banjir Nuh merupakan salah satu kisah paling populer dalam literatur agama samawi. Kisah tersebut termasuk kategori kisah azab yang menggunakan sarana alam.
Dalam literatur keagamaan, sebab azab dijelaskan secara sederhana karena kaum Nuh berdosa menolak dakwah nabi Nuh.
Tentu saja ada banyak analisis terkait rincian sebab-sebab azab tersebut. Artinya, sejauh apa penolakan kaum Nuh tersebut sampai membuat Tuhan menurunkan azab.
Dalam Surah Nuh ayat 23 misalnya disebutkan bahwa kaum Nabi Nuh menyembah lima berhala yang kelak disembah pula oleh bangsa Arab Jahiliyah.
Bagi kaum yang menolak warta-warta kitab suci, bisa saja peristiwa banjir bandang zaman Nabi Nuh itu dianggap hanya merupakan bencana alam tanpa relasi sebab akibat dengan perbuatan dosa.
Selain itu, di kalangan penafsir juga ada pihak-pihak yang menganggap kisah tersebut merupakan kisah konotatif, bukan denotatif.
Terlepas dari semua kemungkinan tafsir yang ada, kisah Banjir Nuh sudah kita kenal bahkan sejak kita kecil.
Ketika kita menyebut nabi Nuh, maka imajinasi awal kita adalah banjir yang menimpa kaumnya tersebut.
Nabi Nuh sendiri memang termasuk rasul ulul azmi, artinya rasul yang memiliki keistimewaan tersendiri karena ketabahan dan kesabaran mereka dalam berdakwah.
Empat rasul ulul azmi yang lain adalah nabi Musa, nabi Ibrahim, nabi isa, dan juga nabi Muhammad saw.
Nah, tetapi tahukah Sobat Mindset kalau saking terkenalnya kisah banjir nabi nuh maka kisah tersebut juga diangkat oleh penyair-penyair kita dalam puisi?
Banjir Nabi Nuh dalam Puisi Amir Hamzah
Amir Hamzah adalah salah satu penyair legendaris kita yang disebut oleh HB Jassin sebagai Raja Penyair Pujangga Baru.
Amir Hamzah berasal dari keluarga istana Kesultanan Langkat, Sumatra Utara dan meninggal dalam tragedi revolusi sosial yang dilakukan oleh kelompok pemuda faksi Partai Komunis Indonesia.
Puisi Amir Hamzah yang mengangkat banjir nabi Nuh berjudul Hanya Satu:
Timbul niat dalam kalbumu
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh redam terbelam
Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh Nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa
Baris-baris puisi tersebut memuat diksi-diksi yang mungkin terasa asing untuk pembaca Indonesia saat ini.
Diksi rampak misalnya merupakan bahasa Minangkabau yang berarti jatuh, rebah, runtuh, tumbang, atau diksi terban yang bisa berarti runtuh ataupun musnah.
Meski demikian, bait-bait puisi tersebut terasa puitis sekaligus menggambarkan kengerian momen banjir Nuh.
Bagaimana hujan turun tanpa henti, permukaan air naik terus-menerus, dan manusia kebingungan mencari tempat berlindung.
Pada momen itu digambarkan kedamaian dalam jung bertudung, perahu Nabi Nuh yang disebut sebagai kekasih Tuhan.
Dahsyatnya momen tersebut digambarkan juga dengan diksi bungkar yang merujuk pada ombak besar yang saking besarnya bisa menyapu apa pun yang ada di pantai, seperti tsunami.
Demikian gambaran sekilas dahsyatnya gambaran banjir nabi Nuh dalam puisi salah seorang penyair Indonesia, yaitu Amir Hamzah.